Wukuf di Arafah: Sejarah, Makna & Waktu

keepgray.com – Wukuf di Arafah menjadi salah satu bagian terpenting dalam ibadah haji yang dinantikan oleh seluruh jemaah. Ibadah haji sendiri telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, sebagaimana tertulis dalam surah Ali Imran ayat 97.

Wukuf di Arafah adalah momen inti dalam ibadah haji di mana jemaah berhenti untuk berdoa dan memohon ampunan. Saat ini menjadi waktu penting untuk memperkuat hubungan dengan Allah SWT dan menyempurnakan ibadah haji.

Dalam buku *Haji dan Umrah: Sebuah Perjalanan Spiritual dari Niat hingga Tawaf Wada* karya Nadia Kharisma Afrillia dan Kustin Hartini, dijelaskan bahwa Arafah (atau Arafat) adalah nama tempat yang secara lahiriah tunggal namun disebut dengan lafaz jamak karena seluruh sudut kawasan tersebut dinamakan Arafah.

Para ulama membedakan istilah ini, Arafah merujuk pada hari Arafah (9 Dzulhijjah), sedangkan Arafat adalah tempat pelaksanaan ibadah haji yang berada di sebelah timur Makkah, memiliki luas sekitar 17,95 km² dan ketinggian sekitar 750 kaki di atas permukaan laut.

Wukuf berarti hadir di Padang Arafah mulai tergelincirnya matahari pada 9 Dzulhijjah hingga terbit fajar 10 Dzulhijjah. Para ulama sepakat bahwa wukuf adalah rukun haji yang paling utama dan wajib dilakukan secara langsung oleh setiap jemaah pada waktu yang sama, karena siapa pun yang tidak melaksanakan wukuf hajinya tidak sah.

Asal-usul dan makna wukuf di Arafah turut dijelaskan dalam buku *Sejarah Ibadah* oleh Syahruddin El-Fikri, Ali Syariati dalam Al-Hajj. Menurut Syariati, wukuf bermula dari pertemuan Nabi Adam AS dan Hawa di Arafah setelah dikeluarkan dari surga, di mana mereka memohon ampun dan menyesali kesalahan mereka.

Kata “Arafah” sendiri bermakna mengenal atau menyadari, sehingga tempat ini melambangkan Padang Mahsyar di akhirat, tempat penghisaban amal manusia. Oleh sebab itu, wukuf menjadi momen refleksi, berdoa, dan introspeksi atas amal selama hidup.

Mayoritas ulama menyepakati bahwa waktu pelaksanaan wukuf dimulai pada 9 Dzulhijjah, tepat setelah matahari tergelincir, dan berlangsung hingga terbit fajar pada 10 Dzulhijjah.

Mereka juga sepakat bahwa wukuf yang dilakukan pada sebagian waktu, baik di siang maupun malam hari, sudah dianggap sah. Namun, jika seseorang melakukan wukuf pada siang hari, dia diwajibkan untuk tetap berada di Arafah hingga waktu Maghrib. Sedangkan jika wukuf dilakukan pada malam hari, tidak ada kewajiban tertentu yang harus dipenuhi.

Menurut Mazhab Syafi’i, memperpanjang wukuf dari siang hari hingga malam termasuk amalan sunnah, bukan kewajiban. Pelaksanaan wukuf biasanya dilakukan setelah khutbah dan salat jama’ qasar Dzuhur dan Ashar yang dipercepat. Wukuf dapat dilakukan secara berjamaah maupun secara individu.

Selama wukuf, dianjurkan untuk memperbanyak dzikir, istighfar, dan doa sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW. Wukuf tidak mengharuskan dalam keadaan suci dari hadas besar maupun kecil, sehingga wanita yang sedang haid atau nifas tetap diperbolehkan untuk melaksanakan wukuf.

Wukuf dilaksanakan di kemah-kemah yang telah disediakan khusus untuk para jemaah haji. Namun, bagi jemaah yang sedang sakit dan tidak mampu berada di kemah, pelaksanaan wukuf tetap dapat dilakukan dengan bantuan pelayanan khusus.