UU TPKS: Penegakan Lemah, MPR Dorong Perbaikan

keepgray.com – Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menilai perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia masih belum optimal meskipun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan. Ia mendesak agar pembenahan di berbagai sektor segera dilakukan untuk memastikan implementasi UU ini efektif.

Pernyataan ini disampaikan Lestari dalam diskusi daring bertema “Tantangan Penegakan Hukum UU TPKS” yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Denpasar, Rabu (11/6/2025). Lestari menyoroti lambatnya respons terhadap perubahan sistem dan budaya hukum sebagai salah satu kendala utama.

Lestari menambahkan, kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap substansi UU TPKS menjadi tantangan tersendiri, termasuk pentingnya pendekatan yang berpihak kepada korban. Ia menekankan bahwa pelaksanaan UU ini membutuhkan komitmen kuat dari seluruh elemen masyarakat, baik pemerintah, swasta, maupun individu. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum juga dianggap krusial agar penanganan kasus kekerasan seksual mengedepankan perspektif korban, HAM, dan martabat manusia.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Wiyanti Eddyono, menambahkan bahwa aparat penegak hukum seringkali tidak melihat UU TPKS sebagai instrumen tindak pidana khusus dan cenderung menerapkan pidana umum dalam kasus kekerasan seksual. Ia juga menyoroti kuatnya budaya victim blaming di masyarakat yang menghambat penerapan UU TPKS.

Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta, Tuani Sondang Rejeki Marpaung, mencatat bahwa meskipun laporan kekerasan seksual masih tinggi, hanya sedikit kasus yang berlanjut ke proses hukum. Pada tahun 2023, dari 497 kasus yang dilaporkan ke LBH Apik Jakarta, hanya 5 yang berhasil masuk pengadilan, dengan sisanya terhambat di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Tuani juga menyoroti bahwa aparat masih sering menggunakan UU ITE dan UU Pornografi alih-alih UU TPKS untuk kasus kekerasan seksual, serta kondisi pelaporan yang tidak ideal.

Kuasa hukum korban kekerasan seksual di Universitas Pancasila, Amanda Manthovani, menyoroti buruknya penanganan kasus di institusi pendidikan, meskipun Satgas TPKS di kampus telah dibentuk. Ia menilai relasi kuasa yang ada membuat korban sulit mendapatkan keadilan dan meminta pemerintah segera menerbitkan aturan turunan dari UU TPKS agar proses hukum benar-benar berpihak pada korban dan menjunjung HAM.

Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, menegaskan bahwa UU TPKS sudah sangat lengkap secara teknis, termasuk dalam mengatur hukum acara. Namun, pelaksanaan di lapangan belum sepenuhnya dipahami oleh aparat penegak hukum. Rudianto mendorong kepolisian dan kejaksaan untuk segera memedomani aturan-aturan dalam UU TPKS, serta menekankan bahwa visum dan keterangan korban adalah bukti yang cukup untuk memproses kasus ke pengadilan.