keepgray.com – Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), seorang ahli berpendapat bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dapat menjerat penjual pecel lele di trotoar. Argumen ini muncul dalam sidang gugatan terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang diajukan oleh Syahril Japarin, Kukuh Kertasafari, dan Nur Alam.
Para pemohon, yang merupakan mantan terpidana kasus korupsi, mempermasalahkan pasal-pasal tersebut karena menilai bahwa perbuatan koruptif seharusnya lebih fokus pada pemberantasan suap, penggelapan jabatan, dan gratifikasi, bukan hanya kerugian negara. Syahril Japarin adalah mantan Direktur Utama Perum Perindo yang dihukum karena korupsi, Kukuh Kertasafari adalah mantan pegawai PT Chevron yang terjerat kasus limbah B3, dan Nur Alam adalah mantan Gubernur Sulawesi Tenggara yang dihukum karena korupsi izin tambang.
Ahli hukum yang dihadirkan, Chandra M Hamzah (mantan Pimpinan KPK), berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dapat menimbulkan masalah karena формулировка yang kurang jelas dan ambigu. Ia mencontohkan kasus penjual pecel lele yang berjualan di trotoar, yang dapat dianggap melanggar hukum, mencari keuntungan pribadi, dan merusak fasilitas publik, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan bahwa setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara dapat dipidana penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Pasal 3 mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara dengan ancaman hukuman serupa.
Chandra berpendapat bahwa rumusan Pasal 2 ayat (1) melanggar asas lex certa karena tidak jelas dalam mendefinisikan perbuatan korupsi. Ia mengusulkan agar pasal tersebut dihapuskan atau direvisi agar sesuai dengan Article 19 UNCAC, dengan mengganti frasa “Setiap Orang” menjadi “Pegawai Negeri” dan menghilangkan frasa “yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara”.
Ahli keuangan, Amien Sunaryadi (mantan Pimpinan KPK), menambahkan bahwa survei menunjukkan suap adalah jenis korupsi yang paling banyak terjadi, namun aparat penegak hukum lebih sering mengejar kasus yang merugikan keuangan negara. Ia menekankan bahwa fokus pada kerugian negara tidak akan membebaskan Indonesia dari korupsi jika suap diabaikan.