keepgray.com – Polri telah menanggapi keberatan yang diajukan oleh Tim Pembela Ulama & Aktivis (TPUA) terkait penghentian penyelidikan atas dugaan ijazah palsu Presiden RI ke-7 Joko Widodo. Kepolisian menegaskan bahwa proses penyelidikan tersebut telah dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro menyatakan kepada wartawan pada Selasa (27/5/2025), “Yang jelas kami bekerja secara profesional, dan semua yang dilakukan bisa kami pertanggungjawabkan.”
TPUA sebelumnya telah menyampaikan keberatan atas hasil gelar perkara yang dilakukan penyidik. Menanggapi hal ini, Brigjen Djuhandhani menjelaskan bahwa pihaknya telah melibatkan berbagai pihak pengawas dalam proses gelar perkara, termasuk Pengawas Penyidikan (Wassidik), Propam, Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum), dan Divisi Hukum (Divkum) Polri. “Saat gelar kami juga sudah menghadirkan dari pengawas yaitu Wassidik, Propam, Itwasum dan Divkum,” ujarnya.
Mengenai dokumen ijazah asli, Djuhandhani menambahkan bahwa ijazah tersebut telah dikembalikan kepada Presiden Jokowi setelah melalui uji laboratorium forensik. Ia menegaskan bahwa perihal menunjukkan ijazah asli sepenuhnya menjadi kewenangan Jokowi. “Ijazah asli kan sudah diambil kembali oleh pemilik ijazah dan oleh pemilik ijazah akan ditunjukkan langsung oleh pemilik kalau diperlukan dalam persidangan,” imbuh Djuhandhani.
TPUA sendiri mendatangi gedung Bareskrim Polri pada Senin (26/5) sebelumnya. Kedatangan mereka bertujuan untuk mendesak dilakukannya gelar perkara khusus terkait kasus ijazah palsu Jokowi.
Wakil Ketua TPUA, Rizal Fadhillah, di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, pada hari yang sama, menjelaskan bahwa mereka datang untuk mendesak gelar perkara khusus. “Di sana kita tuangkan poin-poin keberatan atas hasil gelar perkara dan hasil penyelidikan yang dihentikan pada tanggal 22 Mei yang lalu,” kata Rizal.
Rizal merinci bahwa keberatan mereka tertuang dalam 26 poin surat yang diserahkan kepada pihak kepolisian. Salah satu poin utamanya adalah penilaian bahwa penghentian penyelidikan dan gelar perkara yang dilakukan oleh Bareskrim tersebut cacat hukum. “Kenapa? Karena tidak menghadirkan pelapor dan terlapor, yang namanya gelar perkara itu dimulai dengan proses pencarian bukti, kemudian menginformasikan hasil pencarian, kemudian pendapat dari pelapor dan terlapor,” ucap Rizal. Ia melanjutkan, “Tapi ini tidak, pelapor tidak diundang, terlapor tidak diundang. Jadi internal sekali, padahal keputusannya itu sangat menentukan.”