keepgray.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus memantau dampak perang Iran-Israel, termasuk potensi kenaikan harga minyak dunia terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Amerika Serikat (AS), sebagai sekutu Israel, menyerang fasilitas nuklir Iran yang meningkatkan ketegangan geopolitik di Timur Tengah.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, menyatakan pemerintah terus mewaspadai risiko global dan transmisinya pada perekonomian domestik. Langkah-langkah mitigasi awal disiapkan dan peran APBN dioptimalkan sebagai *shock absorber*. Koordinasi lintas kementerian hingga Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan terus ditingkatkan untuk memantau kondisi global.
Menurut Deni, dampak perang Iran-Israel terhadap perekonomian dalam negeri masih aman, sehingga fiskal tetap berjalan dengan baik. Ia yakin dampak kenaikan harga minyak terhadap APBN bisa terus dijaga karena asumsi harga minyak mentah di APBN dipatok di atas US$80 per barel.
“Level harga minyak terkini masih berada di bawah asumsi yang digunakan untuk APBN 2025 yaitu di US$82 per barel. Harga minyak Brent di akhir pekan ini masih di US$77,27 (eop) dan rata-rata *year to date* ICP masih di bawah US$73 per barel sehingga masih terdapat ruang fiskal untuk meredam rambatan inflasi,” pungkasnya.
Goldman Sachs memprediksi harga minyak dunia bisa menembus US$110 per barel jika Selat Hormuz ditutup, karena jalur tersebut merupakan jalur utama ekspor minyak dunia. Iran, Arab Saudi, hingga Uni Emirat Arab sangat bergantung pada jalur ini untuk mengekspor minyak mereka ke pasar Asia, Eropa, dan Amerika.
Dalam catatan riset yang dikeluarkan pada Minggu (22/6), bank investasi asal Amerika Serikat itu menyatakan bahwa harga minyak mentah Brent bisa melonjak hingga US$110 per barel jika pendistribusian minyak melalui selat tersebut terganggu.