keepgray.com – Pemerintah Indonesia berencana memulai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pada tahun 2027 dengan target operasi penuh mulai 2032. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, pada Senin (26/5), seiring peluncuran Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2035.
Dalam RUPTL tersebut, pemerintah menargetkan kontribusi PLTN sebesar 500 megawatt (MW) dalam sepuluh tahun ke depan, sebagai bagian dari total porsi energi baru terbarukan (EBT) yang ditargetkan mencapai 42,6 gigawatt (GW). Bahlil menjelaskan bahwa beberapa regulasi terkait pembangunan PLTN telah disiapkan, dan pihaknya akan memulai dengan skala kecil. Wilayah yang dipilih untuk pembangunan PLTN adalah Sumatera dan Kalimantan, dengan target daya masing-masing 250 MW. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada kajian ekstensif oleh tim teknis.
Berdasarkan paparan Bahlil, total target penambahan pembangkit listrik dalam periode 2025-2034 adalah 59,2 GW. Dari jumlah tersebut, 42,6 GW berasal dari EBT, yang mencakup surya (17,1 GW), air (11,7 GW), angin (7,2 GW), panas bumi (5,2 GW), bioenergi (0,9 GW), dan nuklir (0,5 GW). Sementara itu, 16,6 GW sisanya berasal dari energi fosil, yang terdiri dari gas (10,3 GW) dan batu bara (6,3 GW).
Pemerintah menargetkan penambahan pembangkit sebesar 27,9 GW dalam lima tahun pertama (2025-2029) dan 41,6 GW dalam lima tahun terakhir (2030-2034), termasuk 10,3 GW untuk fasilitas penyimpanan energi (storage). Untuk mencapai target 59,2 GW ini, dibutuhkan investasi sekitar Rp2.967,4 triliun. Investasi tersebut dibagi menjadi Rp1.173,94 triliun untuk periode 2025-2029 dan Rp1.793,48 triliun untuk periode 2030-2034. Pemerintah akan mengalokasikan porsi investasi sebesar Rp1.566,1 triliun untuk pihak swasta atau Independent Power Producer (IPP), sedangkan PLN akan menggarap sebesar Rp567,6 triliun. Proyek ini diperkirakan akan menyerap 1,7 juta tenaga kerja, termasuk 836.696 tenaga kerja untuk kebutuhan industri manufaktur, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan pembangkit, serta 881.132 tenaga kerja untuk pemeliharaan gardu induk dan distribusi.
Namun, RUPTL 2025-2034 ini menuai kritik dari pemerhati lingkungan dan ekonom yang menilai rencana tersebut tidak sejalan dengan janji transisi energi yang digaungkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Porsi energi fosil sebesar 16,6 GW dalam RUPTL dianggap bertentangan dengan visi Prabowo yang ingin menghentikan pembangkit fosil pada tahun 2040, sebagaimana disampaikan dalam KTT G20 di Brasil tahun lalu.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, menyatakan bahwa komitmen Indonesia untuk bebas energi berbasis fosil pada 2040 menjadi mustahil tercapai dengan RUPTL ini. “RUPTL ini merupakan kemunduran dari pernyataan presiden di KTT G20 akhir tahun lalu mengenai komitmen transisi energi Indonesia. Ini akan memberi ketidakpastian bagi publik, lembaga keuangan, dan sektor swasta yang ingin beralih ke energi terbarukan,” ujar Tata dalam keterangan resminya pada Selasa (27/5). Ia juga menyoroti penambahan kapasitas PLTU batu bara sebesar 6,3 GW dan gas 10,3 GW, yang setara dengan 24 persen dari total tambahan kapasitas pembangkit. Tata menyarankan pemerintah fokus pada pengembangan industri rantai pasok panel surya, baterai, dan kendaraan listrik.
Senada, Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati, berpendapat bahwa investasi ke pembangkit listrik berbahan fosil berisiko membuat sistem energi nasional tergantung pada energi kotor. Sartika menyinggung bahwa pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) yang memiliki umur teknis 25-30 tahun akan diikuti investasi infrastruktur gas yang besar, sehingga sulit untuk ditutup sebelum akhir umur teknisnya tanpa kompensasi besar. Ia menambahkan bahwa penambahan PLTU di tengah dominasinya yang mencapai 70 persen dari total kapasitas terpasang adalah langkah yang tidak tepat dan menghambat pembangunan ekonomi alternatif di daerah yang bergantung pada batu bara.
Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, juga melihat RUPTL 2025-2034 lebih mengakomodasi kepentingan energi fosil, yang menjadi ganjalan bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia. “Investor maupun pendanaan di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan RUPTL, karena pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi,” kata Bhima, menegaskan bahwa ketidakpastian investasi dapat membuat daya saing Indonesia tertinggal.