Tangis Legislator Perempuan untuk Korban ’98

keepgray.com – Upaya DPR RI dalam membela korban kekerasan seksual pada tragedi 1998 tidak hanya disampaikan dalam bentuk kritik dan peringatan. Air mata pun ikut tertumpah dari dua legislator perempuan atas empati mendalam mereka kepada korban pemerkosaan dalam insiden kelam ’98.

Dalam rapat kerja dengan Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon pada Rabu (2/7), anggota Komisi X DPR berbondong-bondong mengkritisi pernyataan Fadli yang menyebut pemerkosaan massal dalam tragedi ’98 hanya rumor karena tidak dapat dibuktikan.

Dua legislator perempuan dari Komisi Pendidikan dan Kebudayaan DPR, Wakil Ketua Komisi X DPR My Esti Wijayati dan Anggota Komisi X DPR Mercy Chriesty Barends, menjadi sorotan utama. Pembelaan mereka terhadap korban pemerkosaan tragedi ’98 menuai banyak perhatian publik.

My Esti Wijayati menangis kala mendengar jawaban Menbud Fadli Zon saat dimintai klarifikasi soal pernyataannya terkait pemerkosaan massal 1998. Esti mengaku kecewa karena Fadli Zon dinilainya tak peka terhadap peristiwa tersebut. Hal ini bermula saat Fadli Zon menyatakan telah membaca data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mengenai kerusuhan 1998. Namun, Fadli Zon meminta jangan masuk narasi adu domba dari kekuatan asing ketika itu yang ingin mem-framing.

Fadli Zon lalu memberikan contoh sebuah tulisan dalam salah satu majalah, di mana ada berita soal pemerkosaan massal yang dinarasikan saat peristiwa terjadi terdengar adanya teriakan takbir. Selain itu, Fadli Zon menyatakan dirinya mengakui telah terjadi pemerkosaan dalam insiden ’98. Meski demikian, ia menegaskan hal itu akan sulit diakui secara hukum lantaran tak ada fakta dan pelaku pemerkosaan.

Mendengar jawaban Fadli Zon, My Esti menginterupsi. Ia menilai penjelasan Fadli dalam rapat semakin membuat sakit hati. “Pak Fadli Zon ini bicara kenapa semakin sakit ya soal pemerkosaan mungkin sebaiknya tidak perlu di forum ini Pak, karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta sehingga saya tidak bisa pulang beberapa hari,” kata Esti dikutip Jumat (4/7/2025).

“Ini semakin menunjukkan Pak Fadli Zon tidak punya kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi korban perkosaan sehingga menurut saya penjelasan Bapak yang sangat teori seperti ini dengan mengatakan Bapak juga aktivis pada saat itu justru akan semakin membuat luka dalam,” tambahnya sambil terisak. Esti juga menegaskan agar Fadli Zon meminta maaf karena pernyataannya telah memicu kontroversi di kalangan masyarakat.

Senada dengan Esti, Anggota Komisi X DPR Mercy Chriesty Barends juga menyatakan hal yang sama. Ia menilai pernyataan Fadli Zon membuat banyak pihak terluka dan menegaskan kasus-kasus pemerkosaan di ’98 benar-benar terjadi sebab Mercy mengaku menjadi saksi sejarah kelamnya peristiwa saat itu. Mercy mengaku merasakan ikut sakit hati atas pernyataan Fadli Zon karena ia turun langsung bersama Komnas Perempuan menangani berbagai kasus kekerasan seksual pada saat kerusuhan. Menurutnya, korban kekerasan seksual benar adanya namun tidak berani bersuara.

Saat mendengar pembelaan Fadli Zon, Mercy juga ikut menangis. Ia menilai, betapa menyakitkannya menyaksikan negara seolah kesulitan mengakui sejarah kelam, padahal data dan testimoni korban sudah dikumpulkan sejak awal Reformasi. Mercy pun memberikan tiga dokumen bukti-bukti kepada Fadli Zon untuk menjadi pertimbangannya saat menulis ulang sejarah pemerkosaan massal kerusuhan Mei ’98. Salah satunya adalah dokumen hasil Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Presiden ke-3 RI BJ Habibie.

Menanggapi berbagai kritikan dari anggota DPR, Menbud Fadli Zon kemudian menyampaikan permintaan maaf jika dinilai kurang sensitif terhadap isu tersebut. Ia mengakui adanya tragedi pemerkosaan ’98 dan mengutuknya, namun tidak sepakat dengan diksi ‘massal’. Menurutnya jika terdapat perbedaan pandangan terkait peristiwa ’98, itu hanya pendapat pribadinya.

Kritik yang disampaikan sejumlah anggota DPR, terutama legislator perempuan, terhadap pernyataan Fadli Zon soal isu pemerkosaan massal dalam tragedi 1998 itu pun mendapat apresiasi. Sikap anggota DPR perempuan dalam rapat kerja dengan Menbud Fadli Zon dinilai memperkuat narasi pembelaan terhadap korban kekerasan seksual di masa lalu. Aktivis perempuan dari Sarinah Institute, Luky Sandra Amalia, menyatakan bahwa kritik tersebut patut diapresiasi karena mencerminkan fungsi utama parlemen, terutama dalam mengawal isu-isu keadilan gender.