keepgray.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) saat ini sangat tidak berfungsi. Hal ini disampaikan dalam CNBC Economic Update 2025 di Jakarta, Rabu (18/6).
Sri Mulyani mengungkapkan bahwa banyak negara masih berharap penyelesaian sengketa dapat dilakukan di WTO. Namun, ia menilai bahwa WTO saat ini kurang efektif.
Menurutnya, negara-negara besar saat ini tidak mempercayai lembaga multilateral seperti WTO dan WHO karena merasa kepentingan mereka tidak terakomodasi. Akibatnya, negara-negara kuat cenderung menyelesaikan masalah mereka sendiri tanpa melibatkan institusi multilateral tersebut.
Sri Mulyani menekankan bahwa era saat ini telah bergeser ke arah unilateral, terutama karena Amerika Serikat (AS) merasa menjadi korban globalisasi. Padahal, WTO dan organisasi global lainnya awalnya dibentuk oleh AS bersama negara G7.
Ia menyoroti bahwa negara-negara di dunia lebih memilih untuk mengamankan kepentingan masing-masing, yang menyebabkan persaingan politik, ideologi, militer, keamanan, hingga ekonomi semakin kuat.
“Persaingan ini telah pada suatu titik yang dianggap bahwa kalau salah satu pihak menang, maka yang lain akan kalah. Situasi inilah yang mendasari yang kita sebut uncertainty,” tuturnya.
Sri Mulyani mencontohkan bagaimana AS, sebagai negara terbesar dan terkuat dengan ekonomi terbesar, merasa menjadi korban dari globalisasi yang justru diadvokasi oleh mereka sendiri.
Menkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa AS menganggap dirinya sebagai pasar dunia, namun sektor manufaktur mereka kalah saing. Terjadi pergeseran industri manufaktur ke negara lain dengan upah yang lebih rendah.
Selain itu, Sri Mulyani juga menyinggung perseteruan antara AS dan China. Ia menyebutkan bahwa telah ada kesepakatan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping untuk membahas perang tarif.
Namun, global masih belum mengetahui hasil diskusi kedua pemimpin negara tersebut. Sri Mulyani menyoroti dua ketidakpastian yang muncul dari gejolak antara AS dan China. Pertama, ketidakpastian terkait mekanisme diskusi kedua negara. Kedua, mengenai poin-poin kesepakatan antara Trump dan Xi Jinping.
“Maka, kita akan terseret dengan ketidakpastian dari the two largest economy in the world,” pungkasnya.