RUU PPRT Mendesak Disahkan! PRT: Kami Dieksploitasi!

keepgray.com – Para pekerja rumah tangga (PRT) mendesak agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) segera disahkan. Mereka mengungkapkan keluhan terkait pelecehan dan diskriminasi yang kerap dialami selama bekerja.

Yuni Sri Rahayu, seorang PRT, menyampaikan aspirasinya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/7/2025). Yuni mengaku telah mengalami berbagai bentuk kekerasan selama 15 tahun menjadi PRT.

“Saya mengalami banyak bentuk kekerasan, dari psikis, ekonomi, pelecehan seksual, dan itu pernah saya alami. Pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan pilihan saya, dan sudah jadi pekerjaan prioritas saya untuk rumah tangga dan ekonomi keluarga saya,” ungkap Yuni.

Yuni berharap agar RUU PPRT segera disahkan karena negara memiliki kewajiban untuk melindungi pekerja domestik.

“Di sini kita berharap adanya undang-undang PPRT yang seharusnya memang sudah kewajiban negara, untuk melindungi semua pekerja dan itu sudah tertuang di dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2,” jelasnya.

Selain itu, Yuni juga menuntut pengakuan atas profesi PRT sebagai pekerja, bukan pembantu, serta adanya kontrak kerja yang jelas antara PRT dan pemberi kerja.

“Kebanyakan kita untuk mendapatkan kontrak kerja itu susah. Banyak kawan-kawan meminta kontrak kerja, tetapi malah di PHK sepihak. Jadi banyak kendala setelah kita di PHK, banyak para PRT ini mayoritas adalah perempuan tulang punggung keluarga,” tuturnya.

Yuni menceritakan pengalamannya mengalami pelecehan seksual dan pemotongan upah karena terlambat bekerja selama 5 menit. Ia mengaku sempat takut menceritakan pelecehan seksual tersebut kepada keluarganya.

“Salah satu pengalaman saya yang benar-benar sangat miris dan adanya pelecehan seksual yang pernah saya alami, sampai suami pun sebenarnya nggak tahu, karena apa ketakutan saya saat saya berbicara adanya pelecehan dan seksual di tempat kerja, saya tidak akan bisa untuk bekerja lagi,” ujarnya.

“Tapi melihat kondisi ekonomi di keluarga saya, nggak mungkin berhenti sampai situ, karena saat itu saya membantu untuk pertumbuhan ekonomi keluarga yang masih minim, anak saya harus sekolah, dari situ pun saya berharap tidak ada lagi eksploitasi seperti itu,” imbuhnya.

Ajeng Astuti, PRT lainnya, mengaku telah bekerja selama lebih dari 30 tahun dan pernah bekerja tanpa libur.

“Saya pernah punya pengalaman itu bekerja itu tidak ada hari libur. Dalam satu bulan diberikan izin, pergi pagi, sore harus kembali ke rumah majikan. Dan saya manut pada saat itu. Ya karena saya pikir ya harus kerja, saya harus membantu perekonomian keluarga saya begitu,” ujarnya.

Namun, Ajeng mengatakan tidak ada perubahan dalam sistem kerja yang dirasakannya, dan ia juga tidak mendapatkan jaminan sosial.

“Ternyata PRT ini berhak loh mendapatkan jaminan sosial misalkan. Karena kalau kami sakit, risikonya itu kehilangan pekerjaan. Dan di kalender kami, PRT tidak ada tanggal merah, hitam semuanya, tidak ada hari libur. Dan kami juga harus siap sedia 24 jam,” tuturnya.