keepgray.com – Anggota Komisi VII DPR RI, Ilham Permana, menekankan urgensi pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kawasan Industri sebagai *lex specialis* untuk menyeimbangkan kepentingan hukum, ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Ilham menilai bahwa ketiadaan UU khusus yang mengatur kawasan industri menghambat penguatan ekosistem industri nasional. “Saat ini, kawasan industri diatur oleh berbagai regulasi yang tersebar dan tidak terintegrasi. Kita butuh UU yang menyatukan semuanya dalam satu kerangka hukum yang jelas, adil, dan berkelanjutan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/7/2025).
Hingga Mei 2023, Indonesia memiliki 136 kawasan industri berizin dengan total luas 71.418 hektare. Namun, distribusinya timpang, dengan 61,76% berada di Pulau Jawa. Pengelolaan kawasan industri saat ini diatur oleh UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta aturan turunannya.
Menurut Ilham, ketiadaan UU khusus menyebabkan tumpang tindih kewenangan, lemahnya koordinasi pusat-daerah, dan belum adanya harmonisasi standar tata kelola kawasan industri secara nasional. RUU Kawasan Industri akan memberikan kepastian hukum bagi investor, pemerintah daerah, dan masyarakat terdampak. UU ini bukan hanya untuk mempermudah investasi, tetapi juga untuk menjamin hak-hak sosial dan ekologis masyarakat sekitar.
“Kita tidak boleh melihat kawasan industri hanya sebagai lahan ekonomi. Di sana ada lingkungan hidup, masyarakat adat, nelayan, petani, bahkan ekosistem pesisir yang harus dilindungi,” tegasnya.
Dari sisi ekonomi, Ilham menyoroti pentingnya UU ini untuk mendorong transformasi industri Indonesia menuju industri hijau dan berbasis teknologi. Tanpa kerangka hukum yang kuat, menurutnya, kawasan industri akan terus terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera, serta sulit membuka akses bagi UMKM lokal untuk ikut dalam rantai pasok industri.
Ilham juga menyoroti banyaknya kawasan industri yang berdiri di atas wilayah dengan sensitivitas ekologis tinggi. Ia menegaskan UU Kawasan Industri harus mewajibkan audit lingkungan hidup berkala, zonasi berbasis risiko ekologis, serta penerapan teknologi rendah karbon. Partisipasi masyarakat lokal harus dijamin dalam proses perencanaan kawasan industri, termasuk dalam penyusunan dokumen AMDAL, pengawasan, dan pemanfaatan CSR.
Dalam konteks tata kelola, Ilham menyebut pentingnya pembagian kewenangan yang jelas antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Ia juga mendorong pembentukan lembaga pengelola kawasan industri yang profesional, transparan, dan bertanggung jawab kepada publik.
Indonesia dinilai dapat belajar dari negara-negara lain seperti China, Vietnam, dan Malaysia yang telah memiliki UU khusus untuk mengatur kawasan industri dan zona ekonomi.
Ilham mendesak agar RUU Kawasan Industri segera masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 atau setidaknya Prolegnas jangka menengah 2025-2029. Ia mendorong Komisi VII DPR RI bekerja sama dengan Kemenperin, KLHK, Bappenas, dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyusun naskah akademik dan draf RUU yang matang dan partisipatif.
“UU Kawasan Industri penting untuk memperkuat ekosistem industri, menarik investasi dan pemerataan ekonomi nasional sebagaimana target Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran,” pungkasnya.