Rosan Ungkap Kelanjutan Investasi China Pasca PM Li ke RI

keepgray.com – Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Perkasa Roeslani menyatakan bahwa kunjungan Perdana Menteri China Li Qiang ke Indonesia turut membawa prospek kerja sama konkret antara kedua negara, termasuk implementasi investasi senilai US$10 miliar, setara dengan Rp162 triliun (dengan kurs US$1=Rp16.238).

Rosan menjelaskan bahwa investasi dan kerja sama tersebut merupakan hasil dari kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke China pada November 2024. “Investasi tersebut sudah mulai berjalan dan mencakup sejumlah sektor strategis,” kata Rosan saat menyambut PM Li Qiang di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Sabtu (24/5), seperti dilansir *Antara*.

Selain proyek-proyek yang telah berjalan, kunjungan PM Li Qiang juga membuka peluang baru untuk kerja sama di berbagai bidang, termasuk transportasi, pengembangan klaster industri, hilirisasi mineral, dan sektor kimia. Menurut Rosan, proyek-proyek ini akan melibatkan kolaborasi antara perusahaan swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan mitra asing.

“Yang baru ini sifatnya lintas sektor, mulai dari gerbong kereta api, industri baterai kendaraan listrik, hingga industri kimia. Kami akan mengawal realisasinya agar sesuai harapan,” tambahnya.

Pemerintah Indonesia menegaskan komitmen untuk terus memperluas kerja sama ekonomi dengan China. Hal ini merupakan bagian dari upaya nasional untuk memperkuat ketahanan industri serta mempercepat hilirisasi sumber daya alam.

Menanggapi pertanyaan mengenai kebijakan luar negeri terkait hubungan dagang dengan Amerika Serikat, Rosan menegaskan bahwa fokus utama adalah memperdalam kemitraan bilateral yang saling menguntungkan. “Kita akan lebih fokus untuk pembahasan penguatan kolaborasi dua negara,” ujarnya.

Sebelumnya, pada November tahun lalu, Presiden Prabowo dan Presiden China Xi Jinping telah menandatangani kontrak kerja sama antara kedua negara. Kolaborasi ini, yang digagas oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Komite Tiongkok (KIKT), melibatkan 20 perusahaan dari kedua negara di sektor manufaktur, kesehatan, hilirisasi, ketahanan pangan, dan keuangan.