keepgray.com – Rencana Usaha Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 mencantumkan penambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil, yaitu batu bara dan gas, sebuah langkah yang dinilai bertentangan dengan janji Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Dokumen RUPTL terbaru ini merencanakan penambahan total 59,2 Gigawatt (GW) kapasitas pembangkit dalam satu dekade ke depan.
Dari total penambahan kapasitas tersebut, 16,6 GW akan berasal dari energi berbasis fosil, terdiri dari 6,3 GW PLTU batu bara dan 10,3 GW pembangkit listrik tenaga gas. Angka ini menandakan porsi energi fosil mencapai sekitar 24 persen dari keseluruhan rencana penambahan kapasitas pembangkit. Sementara itu, 42,6 GW sisanya akan berasal dari energi baru terbarukan (EBT), yang mencakup pembangkit berbasis surya (17,1 GW), air (11,7 GW), angin (7,2 GW), panas bumi (5,2 GW), bioenergi (0,9 GW), dan nuklir (0,5 GW).
Rencana ini menuai sorotan karena tidak sejalan dengan komitmen yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil pada 19 November 2024 lalu. Kala itu, pada sesi “Sustainable Development and Energy Transition”, Prabowo berjanji akan menyuntik mati PLTU batu bara sebagai bagian dari visi Indonesia mencapai net zero emission sebelum tahun 2050. Ia menegaskan, “Kami berencana untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara dan semua pembangkit listrik tenaga fosil dalam 15 tahun ke depan. Kami berencana untuk membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan dalam 15 tahun ke depan.”
Pengamat energi dan kelistrikan dari Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai adanya inkonsistensi pemerintah dalam transisi energi berkelanjutan. Fabby menyoroti penambahan PLTU batu bara dalam RUPTL 2025-2034, padahal RUPTL 2021-2030 sebelumnya sudah membatasi penambahan PLTU batu bara terakhir pada tahun 2027. Menurutnya, jika PLTU baru ini beroperasi setelah 2030, mereka bisa terus beroperasi hingga 2060 demi mengembalikan investasi, yang disebutnya sebagai sebuah kemunduran.
Fabby juga mempertanyakan penambahan PLTG berkapasitas 10,3 GW, mengingat PLTG milik PLN saat ini mengalami defisit pasokan gas bumi. Ia khawatir PLTG baru tidak akan beroperasi maksimal dan justru menggunakan bahan bakar minyak (BBM), yang akan meningkatkan biaya produksi listrik. Meskipun mengapresiasi porsi besar EBT, Fabby menyebut angka 42,6 GW masih di bawah target Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 54 GW hingga 2030. Ia juga menganggap keputusan menyertakan energi nuklir dengan Small Modular Reactor (SMR) yang belum terbukti secara komersial sebagai “perjudian”, mengingat potensi biaya yang lebih mahal.
Pengamat energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, melihat dilema transisi energi di balik keputusan ini. Di satu sisi, Indonesia dituntut beralih ke energi bersih, namun di sisi lain, kemampuan teknologi tinggi untuk mendukung transisi ini belum memadai. Yayan menjelaskan bahwa EBT masih mahal karena ekosistemnya belum terbentuk sempurna di Indonesia, dan ketergantungan pada teknologi luar negeri masih tinggi, sementara perbankan menilai pembiayaan EBT berisiko tinggi.
Pada saat yang sama, ketergantungan Indonesia terhadap PLTU batu bara sangat tinggi. Menurut Yayan, PLTU batu bara masih menjadi pilihan paling efisien jika melihat kondisi ekonomi dan perkembangan teknologi domestik. Ia juga mengingatkan bahwa pemerintah daerah akan kehilangan pendapatan signifikan jika PLTU batu bara dimatikan dalam waktu dekat. Yayan memperkirakan Indonesia masih akan mengandalkan pembangkit beremisi dalam 15 hingga 20 tahun ke depan hingga EBT menjadi lebih terjangkau, sembari mendorong inovasi seperti carbon storage atau carbon capture untuk mengurangi emisi.
Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, khawatir kembalinya rencana penambahan PLTU batu bara akan mengganggu perkembangan bisnis EBT di Indonesia. Ia memprediksi investor akan bingung dan berpotensi menarik diri karena ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah yang tidak ambisius dalam transisi energi. Bhima menilai pemerintah memiliki pekerjaan rumah besar untuk memastikan nasib investasi EBT pasca-penerbitan RUPTL baru, seperti memastikan keuntungan investasi melalui insentif dan jaminan risiko investasi. Keberhasilan PLN dalam menjalankan RUPTL ini, menurutnya, sangat bergantung pada investasi swasta, sehingga menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menciptakan kebijakan dan regulasi yang mendukung.