keepgray.com – Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah. Keluhan ini disampaikan kepada Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Dhony Rahajoe.
Dody mengungkapkan bahwa para pengusaha merasa tidak tertarik lagi membangun proyek infrastruktur dan layanan publik melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). “Pak Dhony sempat bisik-bisik kalau swasta agak kapok bermain KPBU. Ini nanti bisa didiskusikan kapoknya bagaimana,” ujar Dody dalam acara Creative Infrastructure Financing (Creat FF) 2025 di Kantor Kementerian PU, Jakarta Selatan, Selasa (3/6), seperti dikutip Detikfinance.
Menanggapi keluhan tersebut, Dody menyatakan bahwa pihaknya sebagai pembuat kebijakan akan menjalin diskusi lebih lanjut dengan pengusaha untuk mencari tahu penyebab keengganan tersebut dan memberikan solusi yang mungkin. Ia menekankan pentingnya keterlibatan aktif swasta dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. “Saya mesti segera bereskan, kemudian swasta benar-benar bisa terlibat aktif dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Kalau swasta lokal aja kapok, bagaimana kita mengundang investor logikanya segampang itu dalam upaya memenuhi kebutuhan pendanaan,” pungkasnya.
CNNIndonesia.com telah menghubungi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani untuk mendapatkan tanggapan terkait hal ini, namun belum mendapatkan respons hingga berita ini dipublikasikan.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menjelaskan bahwa skema KPBU dirancang sebagai solusi atas keterbatasan anggaran negara dalam memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur. Namun, dalam praktiknya, pengusaha swasta menghadapi berbagai kendala seperti kerumitan birokrasi, inkonsistensi kebijakan, dan ketidakpastian pengembalian investasi. “Pengusaha swasta menghadapi kerumitan birokrasi, inkonsistensi kebijakan, dan ketidakpastian dalam pengembalian investasi. Bahkan proyek-proyek yang tampak menjanjikan di awal bisa berubah menjadi jebakan likuiditas karena struktur risiko yang tidak proporsional,” katanya.
Achmad mengibaratkan pengusaha seperti petani yang diminta menanam padi di sawah milik negara dengan janji hasil panen akan dibeli dengan harga yang layak. Namun, setelah menanam, petani menghadapi masalah seperti hujan yang tidak turun, irigasi yang tersumbat, dan harga jual yang tidak jelas. “Apakah petani itu akan mau menanam lagi tahun depan? Begitulah perasaan pelaku usaha saat ini,” ujarnya.
Menurut Achmad, dunia usaha bekerja dengan perhitungan rasionalitas dan risiko. Dalam banyak kasus KPBU, pengusaha justru menemukan ketidakpastian dalam berbagai aspek, seperti waktu pelaksanaan proyek yang molor, perubahan aturan yang mendadak, dan janji insentif fiskal yang tidak kunjung terealisasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak pengusaha merasa bahwa KPBU hanyalah skema ideal yang buruk dalam pelaksanaannya.
Achmad mengingatkan agar keluhan pengusaha ini tidak diabaikan, karena berpotensi mengganggu kelanjutan agenda pembangunan infrastruktur nasional. Ia menekankan bahwa APBN tidak memiliki ruang fiskal yang cukup untuk membiayai sendiri megaproyek infrastruktur. “Jika tren ini berlanjut dan sektor swasta semakin enggan terlibat dalam proyek infrastruktur, kita menghadapi risiko sistemik yang serius,” katanya.
Menurutnya, tanpa keterlibatan swasta, pembangunan infrastruktur dapat terhambat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Ia menekankan bahwa masalah utama KPBU bukan hanya terletak pada aturan yang rumit, tetapi juga pada kepercayaan yang terkikis. Oleh karena itu, pemerintah perlu membangun kembali kepercayaan dengan mitra swasta melalui transparansi, konsistensi kebijakan, dan pemberian insentif fiskal yang realistis.