keepgray.com – Muzdalifah, sebuah lokasi penting bagi jemaah haji untuk mabit setelah wukuf di Arafah dan sebelum menuju Mina, telah dikenal sejak masa pra-Islam. Masyarakat Arab pada masa itu lebih sering menyebutnya dengan Tsabir, yang diambil dari nama seorang tokoh suku Hudzail.
Muzdalifah merupakan dataran yang terletak di atas Gunung Tsabir, berada di sebelah kiri jalan menuju Mina. Gunung Tsabir sendiri adalah salah satu dari empat pegunungan tinggi yang ada di wilayah Hijaz.
Di dataran Gunung Tsabir atau Muzdalifah, matahari terbit dan terbenam tampak lebih awal dibandingkan di Arafah atau Makkah. Kondisi geografis ini mungkin menjadi alasan mengapa Rasulullah SAW memilih untuk melaksanakan salat jamak takhir antara Maghrib dan Isya saat mabit di Muzdalifah pada pelaksanaan haji Wada’.
Beristirahat atau bermalam di kawasan Gunung Tsabir merupakan kebiasaan para musafir yang hendak menuju Makkah sejak sebelum Islam. Selain untuk berlindung dari panas matahari di siang hari, mereka juga dapat memulihkan tenaga setelah melewati Padang Arafah dan mendaki ke kawasan Gunung Tsabir.
Pada masa lalu, rute jalan di kawasan Gunung Tsabir cukup rumit karena posisinya yang berada di antara celah-celah gunung. Oleh karena itu, jika datang dan ingin memasuki wilayah tanah haram yang berada di Gunung Tsabir pada malam hari, lebih baik bermalam di Muzdalifah agar tidak tersesat.
Lembah Muhassir menjadi bukti sulitnya melintasi Gunung Tsabir. Di lokasi ini, pasukan gajah yang dipimpin oleh Raja Abrahah pernah mengalami kemalangan, terperangkap, dan binasa akibat serangan burung Ababil.
Dengan pengalaman tersebut, orang-orang Arab pra-Islam memilih untuk bermalam di Muzdalifah dan melanjutkan perjalanan setelah matahari terbit jika memasuki kawasan Gunung Tsabir pada malam hari. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadis dari Umar bin Khattab, di mana orang-orang Arab sebelum Islam berkata: “Asyriq Tsabir!” (Terangilah Gunung Tsabir).
Sebutan Muzdalifah baru dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Secara gramatikal, Muzdalifah berwazan “isim zaman/makan” yaitu “muftaf’il” yang berasal dari kata zalafa yang berarti “dekat”.
Dalam bentuk tsulasi mazid, kata zalafa mendapat imbuhan alif dan ta’ menjadi “iztalafa”. Kemudian, untuk memudahkan pengucapan, huruf T diganti D sehingga menjadi “Izdalafa – yazdalifu – izdilaf – muzdakifah” yang berarti mendekati dan berdekatan.
Lokasi Muzdalifah disebut demikian karena letaknya yang berdekatan antara Arafah dan Mina, serta waktu matahari terbenamnya yang lebih dekat (lebih awal). Di dalam Al-Quran, Muzdalifah disebut “wa zulafan minal Lail” (QS. Hud: 114).
Selain Muzdalifah, tempat ini juga disebut “Jam’u” (Berkumpul). Sebutan ini muncul berdasarkan hadis yang diriwayatkan Amar bin Mainin: “Kami pernah salat berjamaah bersama Umar bin Khattab di Jam’u.”
Julukan Jam’u muncul karena di tempat ini Rasulullah SAW pernah melakukan salat Maghrib dan Isya’ secara jamak pada waktu haji Wada’. Meskipun demikian, praktik ini kemudian tidak diikuti oleh jemaah haji yang mabit di Muzdalifah pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yang melakukan salat Isya’ tanpa dijamak karena mayoritas jemaah haji adalah penduduk asli Makkah yang dianggap sebagai mukimin.
Ada juga pendapat bahwa penyebutan Muzdalifah dengan Jam’u disebabkan karena Nabi Adam dan Siti Hawa bertemu di lokasi ini. Namun, pendapat ini dibantah karena sebagian besar riwayat menyebutkan pertemuan tersebut terjadi di Jabal Rahmah di Arafah.
Selain Tsabir, Muzdalifah, dan Jam’u, ada juga sebutan lain dalam Al-Quran, yaitu Masyaril Haram (QS. Al-Baqarah: 198). Muzdalifah merupakan titik awal menuju perbatasan Tanah Haram, di mana jemaah haji dianjurkan untuk lebih banyak mengingat Allah SWT. Dengan demikian, Muzdalifah memiliki banyak sebutan: satu dari masa pra-Islam dan tiga dikenal setelah kedatangan Islam.
Setelah memahami asal-usul Muzdalifah, muncul pertanyaan mengenai bagaimana jika melaksanakan haji tanpa mengambil tempat di Muzdalifah, mengingat kesulitan yang sering dialami jemaah haji setelah wukuf di Arafah dan bergerak ke Muzdalifah.
Dalam banyak peristiwa, justru muncul kesulitan tersendiri (ta’ab wa masyaqqat) bagi jemaah haji. Hal ini berbeda dengan mabit di Muzdalifah pada zaman Rasulullah SAW, di mana beliau sengaja beristirahat di Muzdalifah untuk menghindari kesulitan jika langsung bergerak ke Mina.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas disebutkan: “Aku termasuk orang-orang yang dibawa oleh Rasulullah SAW di malam Muzdalifah beserta keluarganya yang dalam kondisi lemah” (HR. Al-Bukhari). Dengan kata lain, Rasulullah SAW mabit di Muzdalifah karena mempertimbangkan kondisi rombongan yang kelelahan setelah wukuf.
Namun, dalam konteks saat ini, jemaah haji dari Arafah diangkut menggunakan transportasi modern yang lebih nyaman apabila langsung diturunkan di Mina tanpa perlu berhenti di Muzdalifah. Justru ketika jemaah haji diturunkan di Muzdalifah, akan muncul masalah baru, baik saat berada di lapangan Muzdalifah maupun dalam proses pengangkutan kembali menuju Mina.
Wacana ini perlu dipertimbangkan untuk mendatangkan kemanfaatan dan menghindari kemudaratan bagi jemaah haji. Para pemangku kebijakan, pemangku kepentingan, dan para ulama perlu mengkaji lebih intensif untuk menemukan solusi seputar problematika jemaah haji di Muzdalifah. Wallahu a’lam.