keepgray.com – Kementerian Agama (Kemenag RI) kembali menegaskan bahwa jemaah haji yang mengikuti skema murur dan tanazul, ibadahnya tetap sah. Murur adalah pergerakan jemaah dari Arafah menggunakan bus yang melewati Muzdalifah tanpa mabit (bermalam) di sana.
Skema murur telah diterapkan pemerintah pada tahun-tahun sebelumnya, termasuk pada penyelenggaraan haji 2024. Mustasyar Diniy, KH M Ulinnuha menjelaskan bahwa menurut sebagian ulama mazhab Syafi’i, termasuk Imam Syafi’i sendiri dalam kitab Al Umm, hukum mabit di Muzdalifah adalah sunnah. Pendapat serupa juga terdapat pada salah satu pendapat Imam Ahmad.
“Sebagian ulama dalam mazhab Syafi’i atau bahkan Imam Syafi’i sendiri mengatakan dalam kitab Al Umm hukum mabit di Muzdalifah itu adalah sunnah. Salah satu pendapat Imam Ahmad juga,” kata KH M Ulinnuha dalam Konferensi Pers Penyelenggaraan Ibadah Haji 1446 H/2025 M yang disiarkan langsung melalui YouTube Kemenag RI, Jumat (30/5/2025).
Puncak ibadah haji akan segera tiba. Pada malam 10 Zulhijah, jemaah akan bergerak menuju Muzdalifah untuk mabit. Pemerintah menerapkan skema murur yang memungkinkan jemaah bergerak dari Arafah menggunakan bus dan melewati Muzdalifah tanpa mabit, lalu langsung menuju tenda-tenda di Mina.
“Ulama mengatakan bahwa murur itu hukumnya boleh dan haji para jemaah yang mengikuti program murur ini juga sah. Mereka juga tidak dikenakan sanksi berupa dam,” lanjut KH M Ulinnuha.
Lembaga Fatwa Mesir juga memutuskan bahwa jemaah diperbolehkan tidak mabit di Muzdalifah karena tempat yang disyariatkan untuk mabit tidak memungkinkan untuk menampung jutaan orang.
“Tempat di mana kita disyariatkan untuk mabit yakni di Muzdalifah itu tidak memungkinkan untuk didiami jutaan orang dan senyatanya memang demikian maka kita boleh meninggalkan Muzdalifah. Jemaah haji tidak harus mabit di Muzdalifah dia bisa langsung menuju Mina,” kata KH M Ulinnuha.
Kemenag mengimbau agar jemaah yang memiliki uzur seperti lansia, difabel, dan berisiko tinggi diperbolehkan mengikuti program murur. “Insyaallah secara hukum fikih mereka tidak terkena dam, mereka dicatat sebagai haji yang insyaallah sah secara hukum,” terangnya.
Selain itu, KH M Ulinnuha juga menjelaskan mengenai program Tanazul yang memungkinkan jemaah meninggalkan mabit di Mina. Jemaah tidak menginap di Mina tetapi langsung bergerak untuk melempar jumrah Aqabah, lalu kembali ke hotel. Hal serupa juga dilakukan setelah jumrah Ula dan Wustha.
“Mereka (peserta program tanazul) tidak menginap di Mina tetapi langsung bergerak di tanggal 10 pagi (untuk) melempar jumrah Aqabah, setelah lempar jumrah Aqabah yang mengikuti program ini akan langsung kembali ke hotel yang ada di sektor 1,2,3 dan 4. Ada 95 kloter yang diwajibkan melakukan program ini,” ungkap KH M Ulinnuha.
Menurut mazhab Hanafi, hukum tanazul adalah sunnah, sehingga haji jemaah tetap dianggap sah dan tidak ada sanksi atau kewajiban membayar dam.
“Di sinilah kemudian para ulama memberikan solusi. Yang pertama adalah bagi mereka yang mengikuti Tanazul berarti mendasarkan merujuk pada pendapat yang mengatakan mabit di Mina itu hukumnya sunah, dalam mazhab Hanafi mereka berpendapat bahwa mabit di Mina hukumnya sunnah,” pungkasnya.