keepgray.com – Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, mengkritik pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti pemerkosaan massal Mei 1998. Hendardi menilai Fadli Zon tidak memiliki empati terhadap korban.
Hendardi menyatakan bahwa pernyataan publik Fadli Zon yang menyangkal tragedi pemerkosaan massal pada 1998 dan pelanggaran HAM masa lalu, selain tidak punya empati terhadap korban, juga berhalusinasi dan mengarang bebas. Ia menambahkan bahwa Fadli Zon dikenal sebagai pendukung dan pembela Orde Baru.
Hendardi juga menilai pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan pernyataan resmi BJ Habibie saat menjadi Presiden serta Penyelidikan TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang dipimpin Marzuki Darusman.
Lebih lanjut, Hendardi meminta Fadli Zon untuk menarik berbagai ucapannya yang menyangkal pemerkosaan massal dan pelanggaran HAM masa lalu serta segera meminta maaf kepada publik, khususnya para korban dan keluarga mereka.
Dia juga menilai proyek penulisan ulang sejarah Indonesia sangat problematik dan berpotensi digunakan untuk membelokkan sejarah bangsa. Dia menyinggung saat kelahiran Pancasila dan Tragedi 1965 pernah diupayakan untuk direkayasa dan dibelokkan melalui penulisan sejarah.
Menurutnya, narasi yang disampaikan oleh Fadli Zon terkait dengan penulisan ulang sejarah Indonesia hampir semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi dan muslihat. Ia juga menegaskan bahwa Kementerian Kebudayaan tidak memiliki otoritas menentukan narasi sejarah perjalanan bangsa dan penulisan sejarah untuk kepentingan pembelajaran harus dikoordinasikan dengan kementerian yang mengurusi pendidikan.
Hendardi juga menyoroti waktu pelaksanaan proyek penulisan ulang sejarah yang terkesan terburu-buru. Menurutnya, tidak ada kondisi obyektif yang menunjukkan kemendesakan dan kedaruratan sehingga penulisan ulang sejarah ini mesti selesai sebelum 17 Agustus 2025. Hal tersebut justru menguatkan kesan publik bahwa di balik proyek ini terdapat ambisi politik rezim untuk merekayasa dan membelokkan sejarah.
Dia juga meminta Pemerintah menunjukkan iktikad mengungkap kebenaran di balik kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dan saat ini.
Sementara itu, dalam klarifikasinya, Fadli Zon mengapresiasi terhadap publik yang semakin peduli pada sejarah, termasuk era transisi reformasi pada Mei 1998. Fadli Zon mengatakan peristiwa huru hara pada 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif, termasuk ada atau tidak adanya perkosaan massal. Bahkan, kata dia, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal ‘massal’ ini.
Demikian pula, kata Fadli, laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah, dia menyebut perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.
Fadli Zon juga mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Ia menegaskan bahwa apa yang disampaikannya tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998. Segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan.