keepgray.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengusut dugaan korupsi dana operasional mantan Gubernur Papua, Lukas Enembe (almarhum), yang diduga digunakan untuk membeli jet pribadi. Dana yang dikorupsi tersebut adalah dana penunjang operasional dan program peningkatan pelayanan kedinasan kepala daerah dan wakil kepala daerah Pemprov Papua tahun 2020-2022.
KPK mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat korupsi ini mencapai Rp 1,2 triliun. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa aliran dana tersebut diduga digunakan untuk pembelian private jet yang saat ini berada di luar negeri. Selain Lukas Enembe, Bendahara Pengeluaran Pembantu Kepala Daerah Provinsi Papua, Deus Enumbi (DE), juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Dalam penyelidikan ini, KPK juga memanggil seorang warga negara asing (WNA) Singapura bernama Gibrael Isaak (GI). Namun, Gibrael mangkir dari panggilan pemeriksaan tanpa memberikan keterangan. KPK mengingatkan agar saksi yang dipanggil bersikap kooperatif untuk hadir dan memberikan keterangan yang dibutuhkan agar proses penegakan hukum dapat berjalan efektif.
Selain itu, KPK juga telah memeriksa seorang saksi berinisial WT, yang merupakan penyedia jasa money changer di Jakarta, untuk menelusuri aliran dana dari kasus korupsi tersebut dalam rangka asset recovery atau pemulihan kerugian keuangan negara.
KPK mengimbau Pemerintah Provinsi Papua untuk berkomitmen dalam upaya-upaya pencegahan korupsi. Budi menyebutkan bahwa skor Monitoring, Controlling, Surveillance, and Prevention (MCSP) di Provinsi Papua pada tahun 2024 berada pada angka 38, turun drastis dari skor tahun sebelumnya yaitu 55 poin.
KPK juga mengapresiasi dukungan masyarakat Papua dalam upaya menuntaskan perkara ini. Kasus ini berkaitan dengan dana operasional Lukas Enembe yang mencapai Rp 1 triliun per tahun, di mana Lukas menggunakan dana operasional atau uang makan sebesar Rp 1 miliar per hari. Alokasi dana fantastis itu disebut telah dirancang sedemikian rupa oleh Lukas dengan membuat peraturan gubernur (pergub) agar tindakan itu terkesan legal dan mampu mengelabui pengawasan dari Kementerian Dalam Negeri.