Konflik Global: Pangan Terancam, Kebijakan Harus Berubah

keepgray.com – Anggota MPR dari Fraksi PKS, Johan Rosihan, menyoroti dampak konflik geopolitik global terhadap ketahanan pangan Indonesia, terutama akibat memanasnya tensi antara Iran dan Israel yang melibatkan Amerika Serikat. Menurutnya, kondisi ini menimbulkan tekanan serius terhadap stabilitas harga dan distribusi pangan nasional.

Johan Rosihan menyatakan bahwa perang di Timur Tengah telah menjadi krisis global yang mengancam stabilitas harga pangan di dalam negeri. Ia menyoroti dampak langsung konflik tersebut terhadap lonjakan harga minyak mentah Brent, yang berimbas pada kenaikan biaya distribusi, ongkos transportasi, dan beban petani.

Harga minyak mentah Brent sempat menyentuh 93 dolar AS per barel. Johan menjelaskan bahwa di Indonesia, kondisi ini menyebabkan biaya distribusi pangan naik, transportasi terganggu, dan ongkos usaha tani melonjak, sehingga petani menanggung beban ganda.

Meskipun data per Mei-Juni 2025 menunjukkan harga Brent telah turun ke kisaran $79.21 per barel dan Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) turun menjadi $62.75 per barel dari $76.81 pada Januari 2025, Johan menilai volatilitas harga tetap menjadi risiko fundamental bagi biaya produksi dan distribusi pangan.

Johan menegaskan bahwa dampak krisis ini tidak terbatas pada aspek ekonomi. Lonjakan harga pangan berkontribusi pada turunnya daya beli masyarakat, meningkatnya angka kemiskinan, serta memicu masalah gizi dan kesehatan, khususnya pada anak-anak. Kondisi ini berpotensi menimbulkan ketidakpuasan hingga keresahan sosial, bahkan dapat memicu aksi protes atau penjarahan dari kelompok masyarakat yang rentan. Johan mengingatkan bahwa pada tahun 2020, Indonesia sempat menempati peringkat ketiga tertinggi dalam tingkat kelaparan di kawasan ASEAN.

Menurutnya, sistem pangan nasional masih sangat rentan terhadap guncangan global. Ketergantungan impor untuk komoditas strategis seperti kedelai, gandum, dan bawang putih semakin memperparah risiko ketahanan pangan. Data menunjukkan ketergantungan impor kedelai mencapai 78,44%, gandum hampir 100%, dan bawang putih mencapai 90,64%, bahkan mencapai 95% pada Desember 2023.

Johan mendesak transformasi kebijakan mendasar menuju kemandirian pangan karena solusi jangka pendek seperti impor tambahan atau operasi pasar belum menyentuh akar masalah. Ia menawarkan beberapa langkah strategis, termasuk percepatan transisi energi di sektor pertanian. Ia mencontohkan pemanfaatan pompa listrik untuk irigasi di Cirebon yang memangkas biaya dari Rp4,8 juta menjadi Rp720 ribu per musim tanam. Program Electrifying Agriculture (EA) oleh PLN mencatat lebih dari 240 ribu peserta dan konsumsi listrik khusus EA meningkat 9% menjadi 5 Terawatt-jam (TWh) pada 2023. Penggunaan motor listrik pun terbukti lebih efisien dibandingkan diesel, menghasilkan penghematan biaya bahan bakar sekitar 183%.

Selain itu, Johan juga menyebutkan soal penguatan hilirisasi pangan lokal. Ia menilai pengolahan hasil produk pertanian mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi dapat meningkatkan pendapatan petani dan daya saing nasional. Setiap peningkatan satu unit kebijakan hilirisasi dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan di sektor pertanian sebesar 3,309 unit. Hilirisasi juga menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi ketergantungan impor, dan memperkuat ketahanan pangan nasional. Menteri Pertanian bahkan menargetkan peningkatan ekspor kelapa dari Rp20 triliun menjadi Rp60 triliun melalui hilirisasi.

Strategi lain yang didorong Johan adalah pengembangan sistem distribusi terintegrasi berbasis energi terbarukan. Integrasi energi terbarukan dalam distribusi pangan dapat memangkas biaya logistik, mengurangi kerugian pascapanen, dan menjamin ketersediaan pangan yang lebih merata.

Johan menegaskan bahwa jika negara ingin tahan terhadap krisis global, maka dapur rakyat harus dijaga. Ia mendorong agar ketahanan pangan menjadi prioritas dalam kebijakan fiskal, energi, dan perdagangan nasional.

Menurutnya, ketahanan pangan bukan sekadar isu ekonomi atau pertanian, melainkan pilar fundamental dari stabilitas dan pertahanan nasional. Krisis pangan dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial yang mendalam. Mengintegrasikan ketahanan pangan ke dalam strategi pertahanan nasional adalah hal yang terpenting untuk menjaga ketahanan jangka panjang, kedaulatan, dan kesejahteraan warga negara.