Imam Bukhari: Wafatnya Sang Hafidz Hadits

keepgray.com – Imam Al-Bukhari, seorang ulama hadis terkemuka dalam sejarah Islam, mengalami berbagai ujian berat sepanjang hidupnya hingga akhir hayat. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Bukhari. Karyanya yang monumental, Shahih al-Bukhari, menjadi rujukan utama setelah Al-Qur’an dalam hal keotentikan hadits Rasulullah SAW.

Imam Bukhari lahir pada 13 Syawal 194 H (19 Juli 810 M) di Bukhara, Uzbekistan. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil, sehingga ia dibesarkan oleh ibunya. Imam Bukhari juga mengalami kebutaan pada masa kecilnya, namun Allah SWT memulihkan penglihatannya.

Sejak kecil, Imam Bukhari menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam bidang hadits. Pada usia 6 tahun, ia telah mempelajari karya-karya terkenal di zamannya, terutama kitab-kitab yang berkaitan dengan hadits. Di usia yang sangat muda, ia berhasil menghafal 70 ribu hadits dan menelaah kitab-kitab terkenal saat berusia 16 tahun.

Semangatnya membawanya mengembara ke berbagai negeri seperti Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, Baghdad, Mesir, dan Syam demi mencari sanad hadits yang shahih. Shahih al-Bukhari, karya terbesarnya, disusun selama 16 tahun dan hanya memuat hadits-hadits paling sahih dari sekitar 600.000 hadits yang ia hafal.

Sekitar tahun 250 H, Imam Bukhari kembali ke Bukhara setelah puluhan tahun mengembara dan mengajar. Namun, kedatangannya disambut dengan kedengkian oleh sebagian ulama dan pejabat. Gubernur Bukhara saat itu, Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli, meminta Imam Bukhari untuk mengajar anak-anaknya secara privat di istana, tetapi ditolak secara halus. Akibat penolakan itu, gubernur menyebarkan fitnah dan memprovokasi masyarakat agar membenci Imam Bukhari.

Setelah terusir dari Bukhara, Imam Bukhari memilih tinggal di Khartank, antara Samarkand dan Bukhara. Di sana, ia tinggal bersama keluarga ibunya dan beberapa muridnya yang masih setia.

Imam Bukhari wafat pada malam Idul Fitri, 1 Syawal 256 H (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun, di desa Khartank. Sebelum wafat, beliau berdoa, “Ya Allah, dunia telah menjadi sempit bagiku dengan segala fitnahnya. Maka panggillah aku kepada-Mu.” Jenazahnya dimakamkan di Khartank.