Gus Yahya: Gelorakan Konsensus Kebangsaan!

keepgray.com – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), menekankan urgensi aktualisasi konsensus kebangsaan agar tetap relevan dengan dinamika sosial masyarakat kontemporer. Gus Yahya berpendapat bahwa nilai-nilai fundamental negara, seperti Pancasila dan UUD 1945, memerlukan penjabaran yang lebih operasional supaya mampu menjawab tantangan zaman yang terus berkembang.

Penegasan ini disampaikan Gus Yahya dalam Diskusi Rutin Forum Kramat yang mengangkat tema ‘Pentingnya Konsensus Kebangsaan’. Diskusi tersebut berlangsung di lobi Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, pada hari Jumat (13/6/2025).

“Seperti yang kita tahu semua, konsensus tentang dasar negara, konsensus tentang bentuk negara, konsensus tentang nilai dasar negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Pendeta Jacky Manuputti membisikkan kepada saya bahwa konsensus kebangsaan yang awal mula itu adalah PBNU: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945,” ungkap Gus Yahya.

Namun, Gus Yahya berpandangan bahwa konsensus tersebut saat ini memerlukan kontekstualisasi lebih lanjut. Salah satu caranya adalah dengan memberikan rujukan nilai yang lebih eksplisit terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945, sehingga menghindari terjadinya multitafsir.

“Misalnya, ada pasal yang mengatakan bahwa kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan berpendapat diatur oleh UUD. Nah, diatur dengan UU itu atas dasar nilai apa? Itu belum ada rujukannya. Ya, kita punya UU ITE, UU macam-macam perizinan ini, perizinan itu, tapi rujukan nilainya apa? Belum ada kesepakatan tentang itu,” jelasnya.

Gus Yahya juga menyoroti belum optimalnya implementasi undang-undang terkait hak beribadah, yang berpotensi memicu konflik terkait rumah ibadah di berbagai daerah. Ia menekankan pentingnya mencari cara untuk menjembatani dan mengelola perbedaan-perbedaan yang ada.

Selain itu, Gus Yahya menyinggung mengenai pasal ekonomi dalam UUD 1945 yang dinilai belum sepenuhnya mengakomodasi perkembangan zaman. Ia mencontohkan dominasi produk digital dan konsumsi mi instan yang telah merata di masyarakat.

“Tapi bagaimana misalnya dengan mi instan-mi instan yang, menurut saya, relatif sudah menguasai hajat hidup orang banyak. Siapa yang nggak makan mi instan hari ini? Atau, seperti misalnya produk-produk digital yang kita gunakan, ini seperti apa? Ini belum terjabarkan,” cetusnya.

Lebih lanjut, Gus Yahya mengusulkan perlunya rumusan operasional terhadap nilai dasar negara dan konsensus etik publik. Menurutnya, tanpa rambu etik, aturan hukum dapat disiasati dan dimanipulasi sesuai kepentingan tertentu. Ia menekankan perlunya kesepakatan mengenai batasan perilaku yang patut dan tidak patut dalam etika publik.