keepgray.com – Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Adies Kadir, menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah, menyebut putusan tersebut sangat terbuka untuk diperdebatkan.
“Mungkin dari sisi MK, mereka di sana merasa putusannya sudah benar, sudah sesuai dengan konstitusi dan lain-lain sebagainya. Tapi kan ada juga pihak-pihak menyatakan itu di luar kewenangannya, atau di luar konstitusi dan lain-lain,” kata Adies di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Adies menyinggung putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 mengenai beberapa model dalam penyelenggaraan pemilu. Saat itu, MK dalam pertimbangannya memberikan beberapa model pemilu yang dapat dilaksanakan. Ia mengatakan dua dari enam model tersebut kemudian telah digunakan dalam pemilu beberapa tahun terakhir. Namun, kata dia, saat ini MK kembali mengubah putusannya melalui nomor 135/PUU-XXII/2024.
“Karena putusan MK itu, pendapat rata rata orang ya final dan mengikat. Ini di mana final mengikatnya? Karena selalu berubah-berubah,” sambungnya.
Adies mempertanyakan apakah perubahan putusan MK terjadi karena pergantian ketua atau hakim, atau karena perubahan rezim pemerintahan. Ia juga menyoroti pernyataan usai rapat bersama pemerintah pada Senin (30/6), yang menyebutkan adanya kurang lebih empat putusan MK yang terus berubah-ubah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai makna dari putusan MK yang bersifat final and binding.
“Apakah berubah kalau ketua MK-nya atau hakimnya ganti, putusannya berubah lagi? Atau rezimnya ganti, pemerintahnya, ada putusan lagi?” ujarnya.
“Jadi final and bindingnya di mana? Padahal di dalam undang-undang MK itu kan belum ada aturan menyatakan final and binding mengikuti perkembangan situasional terkini. Kan tidak ada undang-undang itu,” ujarnya.
Adies menyatakan bahwa meskipun putusan MK terbaru masih menuai perdebatan, baik DPR maupun pemerintah tidak dapat menyalahkan keputusan tersebut. Ia menambahkan bahwa saat ini sedang diupayakan cara-cara yang elegan agar sistem tatanan pemilu dan sistem bertata negara dapat berjalan dengan baik, dengan tujuan akhir untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal, mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.