keepgray.com – Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai kritik setelah menyatakan tidak ada bukti mengenai pemerkosaan massal yang terjadi pada Mei 1998. Padahal, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) telah mengungkap temuan terkait peristiwa tersebut.
TGPF dibentuk berdasarkan keputusan bersama antara Menteri Pertahanan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung pada 23 Juli 1998. Tim ini terdiri dari unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM), LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya, dengan tujuan mengungkap fakta di balik peristiwa 13-15 Mei 1998.
Salah satu dokumen temuan TGPF diterbitkan oleh Komnas Perempuan pada November 1999. Selain mengungkap pola kerusuhan Mei 1998, TGPF juga menemukan sejumlah kasus pemerkosaan massal di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan Surabaya.
Data yang diverifikasi TGPF hingga akhir masa kerjanya menunjukkan adanya 52 korban perkosaan, dengan berbagai tingkatan sumber informasi, mulai dari yang didengar langsung, diperiksa dokter, hingga keterangan dari orang tua, saksi, psikiater, psikolog, dan rohaniwan/pendamping. Selain itu, terdapat 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.
Pernyataan Fadli Zon menuai kritik luas dan desakan untuk meminta maaf. Komnas Perempuan menilai pernyataan tersebut menyakitkan bagi penyintas dan memperpanjang impunitas.
Dalam klarifikasinya, Fadli Zon mengapresiasi kepedulian publik terhadap sejarah, termasuk era transisi reformasi Mei 1998. Ia menyebut bahwa peristiwa huru hara 13-14 Mei 1998 menimbulkan silang pendapat dan perspektif yang beragam, termasuk soal ada atau tidaknya perkosaan massal. Fadli Zon juga berpendapat bahwa laporan TGPF hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid.
“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini,” kata Fadli Zon, Senin (16/6/2025). Ia menambahkan bahwa apa yang disampaikannya tidak menihilkan penderitaan korban dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998. Fadli menegaskan bahwa segala bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan dan harus menjadi perhatian serius.