Bamsoet: Politik Uang Masalah Utama Pemilu.

keepgray.com – Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo, menyoroti praktik politik uang yang masih menjadi masalah krusial dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Menurutnya, Pemilu yang diharapkan membawa perubahan besar bagi rakyat dan menjadi simbol demokrasi, kini mulai dipertanyakan efektivitasnya.

Bamsoet, sapaan akrabnya, menyampaikan kekhawatiran bahwa Pemilu justru menjadi ajang praktik korupsi, di mana calon legislatif atau eksekutif menggunakan uang untuk membeli suara. Praktik ini dinilai merusak integritas Pemilu dan menciptakan ketidakadilan dalam proses politik, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya finansial atau kekuasaan.

Hal itu diungkapkan Bamsoet saat memberikan kuliah daring kepada mahasiswa Pascasarjana Program Studi Damai dan Resolusi Konflik, Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan, pada Kamis (12/6).

Bamsoet menekankan pentingnya mendorong partisipasi politik yang lebih inklusif. Ia menilai kelompok yang selama ini kurang terwakili, seperti perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, dan masyarakat miskin, harus diberi ruang yang lebih besar dalam proses politik.

Menurutnya, masa depan demokrasi Indonesia sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk membuka ruang politik seluas-luasnya bagi seluruh warga negara. Pemuda, perempuan, dan kelompok rentan bukan hanya sekadar objek dalam demokrasi elektoral, tetapi juga subjek yang berhak menentukan arah bangsa.

Lebih lanjut, Bamsoet menguraikan bahwa tantangan utama yang menghambat partisipasi inklusif adalah dominasi politik transaksional atau politik uang. Fenomena ini telah mengakar kuat dalam sistem politik Indonesia. Data dari Indikator Politik Indonesia pada Pemilu 2024 menunjukkan bahwa 35% responden mengaku menentukan pilihan karena adanya imbalan uang.

Bamsoet menilai peran legislatif dan pemerintah sangat krusial dalam menghadirkan demokrasi yang adil dan partisipatif. Menurutnya, kedua lembaga tidak cukup hanya berperan sebagai pembuat regulasi, tetapi juga wajib menjadi jembatan bagi keterlibatan publik yang lebih bermakna.

Ia menekankan pentingnya mekanisme partisipasi yang benar-benar memberi tempat bagi kelompok-kelompok yang selama ini kerap terpinggirkan. Forum aspirasi yang melibatkan komunitas disabilitas, organisasi pemuda, kelompok perempuan pedesaan, hingga komunitas adat dinilai bisa menjadi ruang strategis, asalkan tidak sekadar formalitas, melainkan benar-benar masuk ke proses legislasi dan pengawasan kebijakan.

Bamsoet juga menyarankan pendekatan kreatif seperti lokakarya, diskusi komunitas, kampanye digital, atau simulasi parlemen yang melibatkan anak muda, untuk memperkuat pendidikan politik.

Ia menambahkan inklusi politik tidak hanya soal keadilan representasi, tetapi juga kualitas keputusan yang dihasilkan. Semakin banyak perspektif yang hadir, semakin kuat pula demokrasi.

Bamsoet mencontohkan bagaimana kehadiran legislator perempuan di parlemen berkontribusi pada lahirnya kebijakan yang peka terhadap isu gender, seperti pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada 2022.

Bamsoet melihat peran pemuda di legislatif mulai membawa warna baru dalam perumusan kebijakan, seperti isu digitalisasi layanan publik, lingkungan hidup, hingga transparansi pengelolaan anggaran.

Namun, Bamsoet menegaskan bahwa semua langkah ini akan percuma jika sistem politik masih terjebak dalam pola transaksional yang koruptif. Oleh karena itu, pembenahan sistemik seperti reformasi pendanaan partai politik, transparansi anggaran kampanye, serta penegakan hukum terhadap praktik politik uang harus menjadi prioritas utama.