Bali: Asing Berkuasa, Karma Pariwisata?

keepgray.com – Bali, yang dikenal sebagai surga dunia dengan keindahan pantai, kekayaan budaya, dan keramahan warganya, kini menghadapi tantangan serius akibat ‘dosa’ pariwisata. Kemudahan akses bagi wisatawan mancanegara ke Pulau Dewata telah menjadi celah bagi praktik bisnis ilegal oleh orang asing, yang membuat warga Bali resah.

Pada empat bulan pertama tahun 2025, Bali mencatat 2.042.666 kunjungan wisatawan mancanegara, meningkat 10,55 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali. Namun, peningkatan ini juga membawa dampak negatif berupa penumpukan orang asing yang melakukan kegiatan di luar izin yang diberikan.

Gubernur Bali, I Wayan Koster, mengungkapkan kemarahannya atas fenomena ini, di mana WNA tidak hanya berwisata tetapi juga membuka bisnis tanpa izin. Koster menyoroti banyaknya izin usaha sewa mobil dan biro perjalanan di Badung yang dikuasai oleh orang asing. Ia menegaskan bahwa banyak dari mereka tidak memiliki kantor fisik, tidak tinggal di Bali, namun tetap beroperasi secara ilegal.

Koster juga menyoroti sistem Online Single Submission (OSS) yang dinilai menjadi pintu masuk bagi investor asing untuk menguasai sektor strategis hingga level mikro, seperti penyewaan kendaraan dan homestay. Ia khawatir jika kondisi ini dibiarkan, Bali berisiko mengalami kemunduran serius dalam aspek ekonomi, sosial, dan citra pariwisata dalam lima tahun mendatang.

Untuk mengatasi masalah ini, audit menyeluruh atas izin usaha pariwisata di Bali telah dimulai untuk menumpas bisnis ‘hantu’. Selain itu, surat edaran (SE) penertiban usaha dan transportasi wisata juga telah diteken sebagai landasan operasi gabungan Satpol PP dan Polda Bali.

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI), Azril Azahari, mempertanyakan kapasitas aparat terkait, termasuk eksistensi Polisi Pariwisata. Ia menekankan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap wisatawan asing dan bantuan dari Pecalang di masing-masing desa. Azril juga mengkritik kebijakan bebas visa dan visa on arrival (VoA) yang dianggap kurang tepat karena menarik turis kelas menengah ke bawah yang berpotensi meningkatkan kriminalitas dan membuka peluang usaha ilegal.

Azril menyarankan pemerintah untuk beralih dari kebijakan mass tourism ke quality tourism, dan secara bertahap menuju konsep customized tourism yang lebih personal, lokal, dan berskala kecil.

Head of Center Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Izzudin Al Farras, menilai bahwa toleransi tinggi warga lokal dimanfaatkan oleh turis asing untuk mengeruk keuntungan dari keindahan alam dan budaya Bali. Ia meminta pemerintah untuk serius memperhatikan bahaya overtourism dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu untuk menertibkan usaha asing ilegal.

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengidentifikasi lima modus utama yang digunakan WNA untuk menjalankan bisnis ilegal di Bali, termasuk menikahi penduduk lokal, membeli paksa aset, menggunakan marketing untuk menarik wisatawan dari negara asal, mengakali sistem perizinan dengan menggunakan nama orang lain, dan menjadi nomaden worker dengan visa kunjungan biasa.

Huda menekankan bahwa praktik-praktik ini membatasi ruang usaha masyarakat lokal Bali dan menyebabkan manfaat ekonomi pariwisata dinikmati oleh WNA. Ia menegaskan perlunya penertiban terhadap pembangunan resort, club, dan bisnis lainnya oleh WNA, serta pembatasan bisnis persewaan vila atau UMKM oleh orang asing.