keepgray.com – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan akan mengevaluasi aktivitas pertambangan nikel yang diduga menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Bahlil menjelaskan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah tersebut diterbitkan sebelum dirinya menjabat sebagai menteri. Menanggapi kritik yang ramai di media sosial, Bahlil berencana memanggil perusahaan tambang yang bersangkutan.
“Saya akan evaluasi, akan ada rapat dengan dirjen saya. Saya akan panggil pemiliknya, mau BUMN atau swasta,” ujar Bahlil usai menghadiri acara Human Capital Summit di Jakarta, Selasa (3/6).
Bahlil menambahkan bahwa pembangunan smelter nikel di Raja Ampat dilakukan atas permintaan masyarakat setempat, yang menginginkan agar nikel yang ditambang dapat langsung diproses di wilayah tersebut.
“Kami harus menghargai, karena Papua itu kan ada otonomi khusus, jadi perlakuannya juga khusus. Nanti, saya pulang akan evaluasi,” katanya.
Sementara itu, Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, mengungkapkan kesulitan dalam mengintervensi aktivitas tambang yang diduga mencemari lingkungan Raja Ampat. Ia menyebutkan bahwa kewenangan penerbitan dan pencabutan izin berada di pemerintah pusat.
Orideko mempertanyakan efektivitas otonomi khusus yang diberikan kepada Papua, jika wilayah tersebut tidak memiliki kewenangan untuk mengelola dan memanfaatkan potensi yang ada tanpa intervensi pihak lain.
“Sembilan puluh tujuh persen Raja Ampat adalah daerah konservasi sehingga ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa karena kewenangan kami terbatas,” kata Orideko di Sorong, Sabtu (31/5).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu, mengungkapkan dua perusahaan yang mengelola tambang nikel di Raja Ampat, yaitu PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining. Izin untuk kedua perusahaan tersebut dikeluarkan sejak Raja Ampat masih menjadi bagian dari Papua Barat.