Aida Tourindo: Jemaah Tinggalkan Mina Usai Jumrah

keepgray.com – Jemaah haji khusus Aida Tourindo Wisata yang mengambil pilihan nafar awal telah menuntaskan seluruh rangkaian ibadah haji di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) dengan melaksanakan lontar jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah.

Lontar jumrah merupakan ritual melempar batu sebanyak tujuh kali ke sebuah tiang, sebagai simbolisasi tindakan melempar setan dengan batu. Ritual ini didasarkan pada kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.

Syekh Fikri Thoriq, pembimbing haji jemaah Aida Tourindo, menjelaskan bahwa sejarah lontar jumrah bermula ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail AS. Nabi Ibrahim AS dan keluarga bersedia melaksanakan perintah tersebut.

“Namun, iblis menggoda mereka agar tidak taat, karena jika mereka taat, maka derajat mereka akan diangkat oleh Allah,” ujar Syekh Fikri Thoriq usai pelaksanaan lontar jumrah di Mina, Sabtu (7/6/2025).

Iblis melakukan tiga kali percobaan menggoda keluarga Nabi Ibrahim AS. Pertama, iblis menggoda Nabi Ibrahim AS agar tidak menjalankan perintah Allah SWT. Namun, Nabi Ibrahim AS menolak godaan tersebut dan melemparinya dengan tujuh batu kerikil, yang saat ini menjadi lokasi jumrah Ula.

Selanjutnya, iblis mencoba menggoda istri Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar. Namun, ibunda Nabi Ismail AS ini juga menolak godaan tersebut dan melempari iblis dengan batu-batu kecil, yang saat ini menjadi lokasi jumrah Wustha.

Terakhir, iblis menggoda Nabi Ismail AS, yang dianggap memiliki keimanan yang lebih rapuh. Namun, Nabi Ismail AS menunjukkan perlawanan dengan kukuh memegang keimanannya dan keyakinannya pada perintah Allah SWT, lalu melempari setan dengan tujuh batu, yang kemudian dikenal sebagai jumrah Aqabah.

Syekh Fikri Thoriq menekankan bahwa lontar jumrah adalah simbol kesiapan jemaah haji untuk menolak segala ajakan dan godaan setan sepanjang sisa hidup mereka. Setelah melaksanakan lontar jumrah, jemaah haji diharapkan membuang semua ‘berhala’ dalam hati, seperti kesombongan, kedengkian, prasangka buruk, serta dosa dan kemaksiatan lainnya.

“Meninggalkan semua itu dan tidak mengambilnya kembali, agar kita menjadi pribadi baru yang siap hidup dalam ketakwaan kepada Allah SWT,” pungkas Syekh Fikri Thoriq.