Kejagung Dalami Stafsus Nadiem di Proyek Laptop

keepgray.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mendalami peran mantan Staf Khusus Mendikbudristek Bidang Isu-Isu Strategis era Nadiem Makarim, Fiona Handayani (FH), dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek tahun 2019-2022. Fokus pemeriksaan adalah kontribusi Fiona dalam tim teknologi terkait pengadaan laptop untuk digitalisasi pendidikan senilai Rp 9,9 triliun.

Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, mengungkapkan bahwa penyidik terus menggali bagaimana Fiona, dalam kapasitasnya sebagai staf khusus, memberikan masukan terkait pengadaan Chromebook tersebut. “Yang itu yang menjadi terus pertanyaan bagi penyidik, bagaimana dalam kapasitas sebagai stafsus, tetapi juga berkiprah memberikan masukan-masukan terkait dengan pengadaan chromebook ini,” kata Harli di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (10/6/2025).

Penyidik tengah mengkaji barang bukti elektronik terkait perkara tersebut untuk mendalami korelasi antara posisi Fiona sebagai stafsus dan keterlibatannya dalam proyek pengadaan. “Oleh karenanya penyidik akan terus mendalami bagaimana korelasinya. Karena kan posisi yang bersangkutan sebagai stafsus,” lanjut Harli.

Kejagung berupaya mengumpulkan bukti sebanyak mungkin untuk membuat terang tindak pidana dalam kasus ini. Penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan digitalisasi pendidikan ini telah dimulai sejak Selasa (20/5).

Dugaan awal adalah adanya persekongkolan atau pemufakatan jahat dari berbagai pihak yang mengarahkan tim teknis untuk membuat kajian teknis terkait pengadaan peralatan TIK, khususnya laptop berbasis sistem operasi Chromebook. “Dengan cara mengarahkan kepada tim teknis agar membuat kajian teknis terkait pengadaan peralatan TIK supaya diarahkan pada penggunaan laptop yang berbasis pada operating system Chromebook,” jelas Harli.

Padahal, menurut Harli, penggunaan laptop berbasis Chromebook tidak sesuai dengan kebutuhan siswa saat itu. Uji coba pada tahun 2019 menunjukkan bahwa penggunaan Chromebook tidak efektif karena ketergantungan pada internet, yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia. “Karena kita tahu bahwa dia berbasis internet, sementara di Indonesia internetnya itu belum semua sama, bahkan ke daerah-daerah, sehingga diduga bahwa ada persekongkolan di situ,” ungkap Harli.

Proyek ini memakan anggaran negara sebesar Rp 9,9 triliun, yang terdiri dari Rp 3,5 triliun dari satuan pendidikan dan Rp 6,3 triliun melalui dana alokasi khusus (DAK).