Waspadai Haji Mandiri Saudi 2030!

keepgray.com – Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, menyoroti kesiapan Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) RI dalam menghadapi target ambisius Pemerintah Arab Saudi yang berencana meningkatkan kapasitas haji hingga lima juta jemaah pada tahun 2030. Marwan mengingatkan bahwa realisasi target tersebut berpotensi membuka akses haji secara mandiri tanpa pengawasan negara, yang dapat mengancam perlindungan jemaah.

“Arab Saudi menargetkan penyelenggaraan haji hingga lima juta jemaah pada 2030. Namun, saat ini justru terjadi pembatasan ketat terhadap para jemaah,” ungkap Marwan di Mina, pada Sabtu (7/6/2025) malam.

Politisi dari Fraksi PKB ini menyampaikan pengalamannya selama beberapa kali berhaji, bahwa tahun ini menjadi momen paling lengang. Kendati demikian, jemaah menghadapi tantangan besar akibat pemeriksaan ketat di berbagai pos atau checkpoint yang diberlakukan oleh pemerintah Saudi.

Marwan menilai kondisi ini menandakan adanya perubahan signifikan dalam strategi pengelolaan haji oleh Pemerintah Arab Saudi, sejalan dengan visi besar mereka, ‘Vision 2030’. Visi ini menargetkan pengelolaan haji dan umrah secara digital, efisien, dan berskala besar, dengan sasaran lima juta jemaah haji dan 30 juta jemaah umrah setiap tahunnya.

Oleh karena itu, Marwan meminta BP Haji tidak hanya reaktif terhadap kebijakan baru Saudi, tetapi juga mampu membaca arah perubahan jangka panjang negara tersebut secara strategis. “Kita mendorong agar badan penyelenggara haji dapat mengevaluasi dan memahami maksud dari kebijakan Saudi. Jika Saudi ingin semua jemaah terdata dan tidak ada yang ilegal, maka Indonesia harus memastikan seluruh jemaahnya tercatat dan dilindungi,” jelas anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI itu.

Marwan juga menyoroti kekhawatiran bahwa target lima juta jemaah tersebut mungkin akan dicapai melalui sistem haji mandiri, misalnya melalui pembelian kuota secara langsung via aplikasi tanpa keterlibatan pemerintah Indonesia. “Jika benar sistem aplikasi ini memungkinkan siapa pun mendaftar haji tanpa proses filtrasi dari pemerintah, ini berisiko. Kita tidak tahu siapa yang berangkat, dan tidak memiliki data mereka,” lanjut Marwan.

Menurutnya, perlindungan terhadap WNI di luar negeri merupakan amanat Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Tanpa data yang akurat, negara tidak bisa memberikan perlindungan dan pelayanan yang optimal bagi jemaah. “Oleh sebab itu, pemerintah harus mulai merancang solusi sejak dini. Apa saja perangkat yang harus disiapkan, serta kesepakatan seperti apa yang perlu dibangun dengan Pemerintah Arab Saudi,” tegasnya.

Marwan menekankan bahwa pemerintah Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton dalam sistem baru yang dibentuk Saudi, melainkan harus aktif mengambil peran dalam memastikan keamanan, kenyamanan, dan perlindungan bagi jemaah Indonesia di masa mendatang.