keepgray.com – Perjalanan ibadah haji menuju Makkah tidak semata-mata diartikan sebagai mobilitas fisik, melainkan sebuah perjalanan batin yang mendalam. Pengenaan ihram, yang melambangkan kesucian, kesederhanaan, dan kefanaan, mengajak jemaah untuk merenungi hakikat keberadaan dan kembali pada janji awal di hadapan Sang Pencipta.
Makkah diyakini bukan sekadar kota biasa, melainkan ruang suci tempat Allah SWT menjawab kerinduan hamba-Nya dan tempat sejarah peradaban tauhid dimulai. Di lembah ini, jejak ketaatan Nabi Ibrahim AS, keikhlasan istrinya Hajar, dan ketundukan putranya Ismail AS tercatat abadi.
Kedudukan Makkah ditegaskan dalam Al-Quran Surat Ali ‘Imran ayat 96 yang berbunyi, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.” Menurut Tafsir Ibnu Katsir, Ka’bah adalah rumah ibadah pertama yang ditetapkan Allah untuk seluruh umat manusia, berfungsi sebagai poros orientasi rohani. Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS ini melambangkan kembalinya umat manusia kepada satu Tuhan dan satu arah penghambaan.
Di Makkah juga terdapat Maqam Ibrahim, sebuah batu yang diyakini menjadi pijakan Nabi Ibrahim saat membangun Ka’bah. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keberkahan Ka’bah bersumber dari perintah Ilahi, sejarahnya, serta tanda-tanda nyata di dalamnya, termasuk Maqam Ibrahim. Ini menjadi simbol keteguhan Ibrahim dalam menjalankan perintah Tuhan.
Ketenangan dan keamanan batin juga dijanjikan bagi mereka yang memasuki Ka’bah, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali ‘Imran ayat 97, “Siapa yang memasukinya, dia menjadi aman.” Di hadapan Ka’bah, identitas duniawi seolah runtuh, meninggalkan manusia dalam wujud yang paling jujur, rapuh, dan penuh pengharapan akan ampunan.
Kewajiban haji juga ditegaskan dalam ayat yang sama, “Dan bagi Allah-lah kewajiban manusia untuk melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” Menurut Tafsir at-Thabari, makna “mampu” (man istaṭā‘a ilaihi sabīla) diinterpretasikan oleh sahabat dan tabi’in sebagai ketersediaan bekal dan kendaraan, serta kesehatan tubuh dan biaya perjalanan tanpa memberatkan diri atau keluarga. Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa yang dimaksud “kemampuan” adalah “bekal dan kendaraan”. Namun, tafsir ini juga mencakup kesanggupan fisik, bahkan berjalan kaki, selama tidak ada penghalang. Hal ini menunjukkan bahwa esensi kemampuan haji mencakup kesiapan jiwa, raga, dan situasi yang kondusif.
Ayat ini ditutup dengan peringatan, “Dan barang siapa yang mengingkari (kewajiban ini), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam.” Tafsir at-Thabari menjelaskan “kufur” dalam konteks ini sebagai penolakan terhadap kewajiban haji oleh mereka yang telah mampu, baik secara finansial maupun fisik. Ini tidak merujuk pada tidak melaksanakan haji karena alasan yang sah, melainkan pada ingkar kewajiban atau tidak menganggapnya penting. Tafsir ini menegaskan bahwa Allah tidak membutuhkan ibadah haji, namun manusia yang memerlukannya untuk menyucikan jiwa dan memperbaharui janji kepada-Nya.
Dengan demikian, perjalanan ke Makkah bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan sebuah panggilan untuk kembali menjadi manusia seutuhnya, menelusuri jejak ketaatan Nabi Ibrahim, kesabaran Hajar, dan keikhlasan Ismail. Makkah menjadi titik balik di mana manusia menyadari kerapuhan, kefanaan dunia, dan pentingnya kembali kepada fitrah. Ibadah haji, pada intinya, adalah perjalanan pulang yang memperbaharui komitmen spiritual seorang hamba.