Sebuah serangan militer besar-besaran oleh India terhadap Pakistan telah menimbulkan gelombang kejut geopolitik, terutama berdampak pada reputasi Tiongkok sebagai pemasok senjata global, demikian dilaporkan *The Economic Times*. Serangan tersebut dilaporkan berhasil menghancurkan sembilan lokasi teror, menonaktifkan sistem pertahanan udara Pakistan, dan menargetkan lebih dari 12 pangkalan udara.
John Spencer, seorang pakar peperangan modern, menggambarkan operasi India ini sebagai kemenangan telak dan “kekuatan yang menentukan” yang diterapkan dengan jelas. Kekalahan Pakistan, yang ditandai dengan seruan gencatan senjata dan kegagalan sistem pertahanan utamanya, telah mengungkap kekurangan serius pada persenjataan yang dipasok Tiongkok, mengingat hampir 80 persen persenjataan Pakistan berasal dari sana.
Bukti dari citra satelit dan medan perang menunjukkan bahwa jet tempur Tiongkok gagal menembak jatuh pesawat Rafale milik India. Selain itu, sistem penting seperti pertahanan udara HQ-9 dan rudal udara-ke-udara PL-15 yang dipasok Tiongkok dilaporkan berkinerja buruk atau bahkan gagal total selama konflik.
Akibat terungkapnya rincian operasi ini, saham pertahanan Tiongkok anjlok hingga 9 persen. Penurunan tajam ini mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap keandalan senjata buatan Tiongkok, membalikkan ekspektasi keuntungan yang sebelumnya didorong oleh potensi peningkatan penjualan senjata ke Pakistan di tengah ketegangan.
Menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI), Tiongkok menyumbang 5,9 persen dari ekspor senjata global antara tahun 2020 dan 2024. Namun, hampir dua pertiga dari ekspor tersebut hanya ditujukan ke Pakistan. Meskipun Tiongkok berambisi memperluas jejaknya dalam perdagangan pertahanan global, banyak negara pengimpor utama masih menghindari senjata Tiongkok karena alasan politik dan teknis. Hasil konflik India-Pakistan ini, seperti yang diungkap *Economic Times*, dapat menjadi bukti kuat alasan di balik keengganan tersebut, menyoroti isu kualitas di bawah standar.