keepgray.com – Dunia internasional menantikan respons Rusia setelah serangan rudal menghantam fasilitas nuklir Iran. Iran dianggap sebagai mitra strategis Rusia, pemasok drone untuk perang Ukraina, dan sekutu dalam menghadapi kekuatan Barat.
Namun, respons yang diharapkan tidak datang dalam bentuk pengerahan kekuatan militer. Presiden Vladimir Putin mengutuk serangan itu sebagai tindakan yang “sama sekali tidak beralasan,” menawarkan diri sebagai mediator, dan meyakinkan bahwa spesialis Rusia di pabrik nuklir Bushehr akan tetap aman karena Israel telah berjanji untuk tidak menyerang mereka.
Respons yang terkendali ini mengungkap pemikiran strategis Rusia yang lebih dalam. Rusia memandang sekutu dan musuh dalam hierarki yang berbeda, di mana tidak semua layak mendapatkan tingkat konfrontasi yang sama.
Suriah, misalnya, memberikan Rusia akses ke pangkalan angkatan laut di Mediterania dan kesempatan untuk menantang Amerika Serikat. Sementara itu, dukungan terhadap Khalifa Haftar di Libya berpotensi memberikan akses ke jalur minyak dan migrasi Afrika.
Iran, di sisi lain, menghadirkan tantangan yang berbeda. Membela Iran terhadap Israel dan Amerika Serikat akan berarti konfrontasi langsung dengan dua kekuatan bersenjata nuklir, yang berpotensi memicu Perang Dunia III.
Pendekatan Rusia terhadap Iran mencerminkan mekanisme dekonfliksi yang telah dikembangkan dengan Israel terkait Suriah. Sejak 2015, pasukan Rusia dan Israel telah beroperasi di wilayah udara Suriah berdasarkan kesepakatan yang memungkinkan kedua belah pihak mencapai tujuan mereka tanpa bentrokan langsung. Israel diizinkan menyerang posisi Iran di Suriah, sementara Rusia mendapatkan persetujuan Israel atas kehadiran yang lebih luas di wilayah tersebut. Sistem pertahanan udara Rusia tidak melakukan intervensi selama Moskow menerima pemberitahuan sebelumnya.
Pengaturan ini terbukti berhasil bahkan ketika rezim Assad di Suriah runtuh, dengan pejabat Israel melobi untuk mempertahankan pangkalan Rusia di negara tersebut.
