keepgray.com – Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) mengkritik keras penyunatan hukuman Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh oleh Mahkamah Agung (MA), dari 12 tahun penjara menjadi 10 tahun penjara.
Peneliti Pukat UGM, Zaenur Rohman, menyatakan kekecewaannya atas pengurangan hukuman tersebut. Menurutnya, hukuman 10 tahun penjara tidak bisa dianggap sebagai hukuman yang berat. Zaenur menambahkan bahwa putusan ini mengindikasikan adanya praktik mafia hukum di pengadilan, yang menjangkiti Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.
Zaenur menjelaskan bahwa Gazalba Saleh, sebagai seorang hakim agung yang seharusnya menjadi panutan dan memahami hukum, justru melakukan tindak korupsi dan pencucian uang. Tindakan ini dianggap sangat merusak hukum dan keadilan.
Zaenur juga menyoroti bahwa seharusnya pidana yang dijatuhkan maksimal, bahkan lebih tinggi dari tuntutan awal. Ia menyebutkan bahwa tuntutan awal seharusnya 20 tahun, namun yang dikabulkan pertama hanya 10 tahun di tingkat Pengadilan Negeri, kemudian naik menjadi 12 tahun di tingkat banding, dan akhirnya turun lagi menjadi 10 tahun di tingkat kasasi.
Menurut Zaenur, penyunatan vonis ini sama sekali tidak menunjukkan sikap tegas terhadap korupsi, melainkan membuka ruang maaf bagi para koruptor. Ia menekankan perlunya upaya perbaikan di Mahkamah Agung setelah berbagai kasus serupa terjadi.
Zaenur juga menyinggung kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji hakim, namun menurutnya, hal ini tidak menjawab akar masalah korupsi. Ia berpendapat bahwa meskipun gaji hakim dinaikkan hingga ratusan juta per bulan, hal itu tidak akan menghentikan orang yang serakah. Perbaikan situasi membutuhkan pengawasan yang lebih baik dan manajemen sumber daya manusia yang lebih efektif.
Sebelumnya, MA mengurangi hukuman Gazalba Saleh menjadi 10 tahun penjara, jauh lebih ringan dari vonis 12 tahun di tingkat banding. Putusan ini diketok oleh majelis hakim yang diketuai oleh hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto, dengan anggota hakim Agung Arizon Mega Jaya dan Yanto.
Hukuman yang dijatuhkan MA ini kembali ke vonis awal di tingkat pertama, di mana Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menghukum Gazalba 10 tahun penjara karena terbukti menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Gazalba kemudian mengajukan banding, dan hakim Pengadilan Tinggi DKI memperberat hukumannya menjadi 12 tahun penjara.