keepgray.com – Musim haji 1446 H telah berlalu, dengan para jemaah kembali ke tanah air membawa oleh-oleh, kisah indah, dan jejak spiritual mendalam, serta harapan menjadi haji mabrur. Ibadah haji, puncak perjalanan spiritual Muslim, bukan hanya ritual fisik di Mekah dan Madinah, tetapi pelatihan jiwa dalam ketulusan, pengorbanan, dan ketundukan. Rasulullah SAW bersabda bahwa haji mabrur balasannya adalah surga (HR. Bukhari dan Muslim), sehingga menjaga kemabruran menjadi ikhtiar mulia.
Kemabruran diuji setelah jamaah kembali ke kampung halaman. Ulama bijak menyatakan, “Haji boleh saja telah usai, tetapi Tuhan dari Baitullah tetap ada,” menekankan bahwa mendekatkan diri kepada Allah tidak mengenal batas geografis. Meski kain ihram telah ditanggalkan, maknanya seperti kesederhanaan dan kerendahan diri harus terus dikenakan. Tawaf di Kakbah telah usai, kini saatnya melakukan tawaf di sekitar kaum duafa dan anak yatim yang membutuhkan uluran tangan. Prosesi sai antara Shafa dan Marwah selesai, namun perjuangan membantu sesama dan menegakkan keadilan harus terus berlanjut.
Tidak ada lagi Hajar Aswad yang bisa dicium, namun tangan orang tua dan kening ibu yang menua, jika dicium dengan cinta dan bakti, akan jauh lebih bernilai di sisi Allah. Melempar jumrah telah dirampungkan, namun setan yang sejati adalah bisikan hati yang mengajak pada kesombongan dan maksiat. Melempar jumrah sesungguhnya adalah menolak kemaksiatan dan menapaki jalan kebaikan. Bagi yang belum berhaji, semangat kemabruran tetap dapat dihidupkan dengan belajar dari makna dan pesan spiritual haji, keikhlasan mereka yang berhaji, dan kesediaan meninggalkan kenyamanan dunia.
Kemabruran adalah gambaran kondisi jiwa. Imam al-Hasan al-Bashri menyebut bahwa tanda haji mabrur adalah perubahan nyata dalam kehidupan seseorang, menjadi lebih zuhud terhadap dunia, lebih rindu akhirat, tekun beribadah, dan mulia akhlaknya. Imam Ahmad Zarruq al-Fasi menegaskan bahwa haji mabrur adalah haji yang dipersembahkan tanpa maksiat kepada Allah. Imam al-Nawawi menyatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah kembali dalam keadaan lebih baik dan tidak mengulangi perbuatan maksiat.
Menjaga kemabruran adalah menjaga momentum perubahan dengan muraqabah, kesadaran bahwa hidup selalu dalam pengawasan Allah. Ini adalah ketakwaan hati yang hakiki. Menjaga kemabruran berarti menjaga misi haji sebagai momentum perbaikan diri, mengendalikan nafsu, menyuburkan kejujuran, dan menebar rahmat dalam kehidupan sosial. Perjalanan spiritual ke Tanah Suci adalah awal dari perjalanan panjang menuju Allah. Kain ihram yang membungkus tubuh selama berhaji semestinya juga membungkus jati diri dengan kesederhanaan, kerendahan hati, dan keikhlasan.
Jadikan haji bukan sekadar ibadah tahunan atau capaian prestisius, tetapi sebagai ruh yang menggerakkan kebaikan. Bagi yang sudah menunaikannya, diharapkan kian memperteguh langkah dalam mewujudkan kesalehan yang hakiki. Sementara bagi yang belum berhaji, semoga Allah membukakan jalan dan kesiapan lahir batin untuk menyusul ke Baitullah.
Prof. Dr. Ahmad Thilabi Kharlie
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Disarikan dari Khutbah Jumat, 20 Juni 2025.