keepgray.com – Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, mewacanakan pengecilan ukuran rumah subsidi hingga 18 meter persegi sebagai solusi perumahan di perkotaan, khususnya bagi generasi muda yang menginginkan hunian dekat tempat kerja. Wacana ini muncul karena harga tanah di kota yang semakin mahal.
Ara, sapaan akrab Maruarar Sirait, menyatakan bahwa pihaknya sedang mengkaji ukuran rumah subsidi menjadi 25 meter persegi untuk luas tanah dan 18 meter persegi untuk luas bangunan. Lippo Group bahkan memberikan contoh desain rumah dengan luas hanya 14 meter persegi.
“Masak enggak akomodir anak-anak kita, adik-adik kita yang milenial? Coba lihat sekarang, hotel lagi ada banyak hotel kapsul kan? Yang kecil kan? Ya, masa negara tidak mengakomodir keinginan ini?” ujar Ara dalam sebuah acara di Jakarta, Kamis (12/6).
CEO Lippo Group, James Riady, memperkirakan rumah mungil tersebut dapat dijual dengan harga Rp100 juta hingga Rp140 juta, namun lokasinya berada di koridor timur Jakarta seperti Cikampek dan Purwakarta, atau di daerah kabupaten Bogor dan Tangerang.
Wacana ini mendapat kritik dari Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia, Georgius Budi Yulianto, yang menilai rumah subsidi berukuran 14 atau 18 meter persegi tidak manusiawi dan tidak memenuhi standar minimum hunian layak. Ia merujuk pada standar UN Habitat dan WHO terkait ruang hijau publik dan ruang terbuka hijau yang tidak terpenuhi oleh ukuran rumah tersebut. Selain itu, Peraturan Menteri PUPR Nomor 14 Tahun 2017 tentang Standar Teknis Rumah Sederhana Sehat juga berpotensi dilanggar.
“Dalam luas tersebut (14 dan 18 meter persegi), ruang gerak manusia sebagai makhluk sosial dan fisik menjadi begitu terbatas, bahkan tidak mencapai standar minimum hunian layak,” tegas Georgius. Ia menambahkan bahwa ketimpangan spasial ini dapat menciptakan bentuk-bentuk baru dari kohesi sosial yang agresif, di mana manusia tidak hanya kekurangan ruang untuk hidup, tetapi juga kehilangan ruang untuk menjadi manusia.
Kepala Departemen Riset Colliers Indonesia, Ferry Salanto, juga menyatakan ketidaksepakatannya. Ia khawatir kebijakan ini justru membuat makin banyak rumah subsidi yang tidak laku karena dianggap lebih layak untuk kos-kosan daripada hunian keluarga.
Ferry menilai bahwa solusi terbaik adalah mengubah rumah tapak menjadi rumah vertikal, seperti apartemen atau rumah susun, yang dapat memenuhi kebutuhan ruang dengan adanya fasilitas publik seperti taman dan lapangan. Ia mencontohkan, meskipun harga bahan bangunan dan biaya pembangunan di Jakarta mirip dengan daerah lain, harga rumah jauh lebih mahal karena harga tanah yang tinggi.
Georgius juga meragukan harga rumah subsidi di Jakarta dapat mencapai Rp166 juta-Rp182 juta, seperti yang diatur dalam perundangan, jika ukuran rumah ditekan menjadi 18 meter persegi, kecuali jika menggunakan tanah pemerintah yang tidak terpakai.