keepgray.com – Setelah menunaikan ibadah haji, Madinah menjadi ruang spiritual yang membekas dalam jiwa, sebuah kota suci yang menjadi saksi bisu perjuangan Nabi Muhammad SAW dan peradaban yang damai serta inklusif. Madinah menawarkan ketenangan dan kesempatan untuk memperbarui hubungan spiritual dengan Tuhan dan sesama.
Atmosfer Madinah pasca-haji memberikan ruang reflektif yang mendalam, berbeda dengan Makkah yang penuh semangat ritual. Masjid Nabawi menjadi ruang transendental yang menyatukan umat dari berbagai bangsa dalam cinta pada Nabi Muhammad.
Menurut riwayat Aisyah RA, Nabi Muhammad sangat mencintai Madinah. Hadis ini menunjukkan keistimewaan Madinah sebagai kota ilmu dan cinta.
Di Raudhah, taman surga antara rumah dan mimbar Nabi, banyak peziarah meneteskan air mata karena rindu pada Rasulullah. Cinta ini menggerakkan kesadaran moral untuk menjadi manusia yang lebih bertakwa, bertanggung jawab, dan bermanfaat.
Haji bukan hanya ritual fisik, melainkan transformasi spiritual yang merombak kesadaran manusia. Setelah wuquf di Arafah, melempar jumrah di Mina, dan thawaf ifadah, jamaah telah melalui titik balik kehidupan. Pasca-haji seharusnya memasuki fase baru dengan jiwa yang lebih bersih.
Takwa bukan sekadar simbol kesalehan pribadi, melainkan orientasi hidup yang peduli pada kemiskinan, aktif dalam kebaikan sosial, dan adil. Seperti yang dicontohkan Rasulullah di Madinah, takwa memancar dalam tindakan menyantuni yatim, menjamin keamanan kaum minoritas, dan membangun sistem sosial yang setara.
Seorang yang kembali dari haji seharusnya menjadi representasi nilai-nilai ini, menjadi cahaya di tengah masyarakat yang kusut oleh ketimpangan dan kecemasan kolektif, serta menyuarakan keadilan dan menegakkan kasih.
Hubungan manusia dengan alam juga menjadi refleksi pasca-haji yang penting. Dalam setiap tahap ibadah haji, kita diingatkan bahwa bumi bukan milik manusia semata. Arafah, Muzdalifah, dan Mina adalah ruang terbuka yang memaksa kita hidup bersama alam dan merasakan kerendahan hati.
Kesadaran ekologis ini semakin penting dalam konteks krisis iklim. Haji mengajarkan kesederhanaan, pengurangan konsumsi, dan hidup kolektif. Jamaah seharusnya menjadi agen perubahan dalam menjaga lingkungan, mengurangi sampah, hemat energi, dan memperlakukan bumi sebagai amanah Tuhan.
Madinah sebagai kota suci yang terawat mengajarkan teladan konkret, dari sistem transportasi ramah lingkungan hingga tata kota yang mendukung kenyamanan peziarah. Umat Islam memiliki tanggung jawab ganda: menjaga kemurnian iman sekaligus merawat bumi.
Bersyukur atas kesempatan menunaikan haji seharusnya diwujudkan dalam produktivitas spiritual, intelektual, dan sosial. Seorang yang telah berhaji idealnya menjadi pribadi yang lebih efisien, tertata dalam waktu, dan tulus membantu sesama.
Cinta pada Nabi Muhammad harus menjadi bahan bakar utama dalam membangun etos kerja dan dedikasi. Rasulullah adalah manusia paling produktif dalam sejarah, dan cinta sejati pada beliau adalah dengan meneladani semangat kerja, integritas, dan kasih beliau.
Dalam konteks Indonesia, produktivitas pasca-haji sangat relevan. Bayangkan jika jutaan jamaah haji menjadi motor penggerak kebaikan, membuka lapangan kerja, mendorong pendidikan anak, menyuarakan toleransi, serta menjadi pelopor hidup bersih dan tertib.
Refleksi pasca-haji tidak lengkap tanpa menyadari kembali misi kenabian: menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta. Madinah adalah simbol dari semangat ini, tempat Rasulullah menandatangani Piagam Madinah yang menjamin hak semua komunitas.
Pengalaman pasca-haji seharusnya mendorong kita menjadi pribadi yang ramah pada semua, menghormati keyakinan lain, menghapus prasangka, serta menyebarkan kasih. Kita bukan hanya umat Islam, tapi umat Rasulullah: pembawa misi damai, penebar cinta, dan penjaga harmoni.
Madinah menjadi ruang reflektif untuk memahami makna terdalam dari perjalanan haji, mempersatukan sejarah, cinta, dan peradaban. Dari Madinah, kita belajar bahwa menjadi Muslim bukan hanya tentang identitas, tapi tentang tanggung jawab: pada Tuhan, pada sesama, dan pada bumi tempat kita berpijak.
Setelah melaksanakan ibadah haji, mari jadikan takwa sebagai pedoman hidup, cinta Nabi sebagai energi transformasi, dan produktivitas sebagai bentuk syukur, agar haji berlanjut dalam tindakan nyata di tengah kehidupan sehari-hari.
(*)
Dr. Hasan Chabibie
Penulis adalah Staf Ahli Bidang Penguatan Ekosistem Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek, Pengasuh Pesantren Baitul Hikmah Depok Jawa Barat