keepgray.com – Ribuan aktivis dari berbagai negara bergerak menuju Gaza dalam aksi solidaritas bertajuk Global March to Gaza, bertujuan menekan pemimpin dunia untuk menghentikan agresi militer Israel yang dianggap sebagai genosida terhadap warga Palestina.
Gerakan ini dipimpin oleh kelompok Koordinasi Aksi Bersama untuk Palestina, yang melakukan pawai darat bernama Konvoi Sumud. Konvoi dimulai pada 9 Juni 2025, dengan sekitar 1.000 peserta dari kawasan Maghreb (Tunisia dan Aljazair) tiba di Libya pada 10 Juni 2025, setelah memulai perjalanan dari Tunis.
Mayoritas peserta adalah warga sipil yang tergerak oleh krisis kemanusiaan di Gaza, berharap aksi ini dapat menggugah dunia untuk bertindak. “Kebanyakan orang di sekitar saya merasakan keberanian dan kemarahan (tentang apa yang terjadi di Gaza),” ujar Ghaya Ben Mbarek, jurnalis independen Tunisia yang bergabung dalam pawai, seperti dikutip dari Aljazeera, Senin (16/6/2025).
Setelah melewati Tunisia dan Libya, rombongan melanjutkan perjalanan ke Kairo, Mesir. Di sana, mereka akan bergabung dengan ratusan aktivis dari lebih dari 50 negara untuk bergerak menuju Rafah, pintu perbatasan antara Mesir dan Gaza, dengan berjalan kaki sejauh 50 kilometer.
Rute yang ditempuh tidak mudah karena medan yang berat dan izin melintasi wilayah timur Libya hingga wilayah militer Mesir masih menjadi kendala. Konvoi ini belum mendapatkan izin resmi untuk menyeberangi Libya bagian timur hingga 10 Juni.
Meskipun menyadari risiko yang ada, para aktivis ingin menunjukkan bahwa diam bukanlah pilihan. “Pesan yang ingin dikirim orang-orang di sini ke dunia adalah bahwa, jika Anda menghentikan kami melalui laut, atau udara, maka kami akan datang dengan ribuan orang melalui darat,” kata Ben Mbarek. “Kami benar-benar akan menyeberangi padang pasir … untuk menghentikan orang-orang agar tidak mati kelaparan,” lanjutnya.
Aksi ini didukung oleh sejumlah organisasi besar seperti Serikat Buruh Umum Tunisia, Asosiasi Pengacara Nasional, Liga Hak Asasi Manusia Tunisia, dan Forum Hak Ekonomi dan Sosial Tunisia, serta jaringan internasional seperti Codepink Women for Peace dari AS, Jewish Voice for Labour dari Inggris, dan Gerakan Pemuda Palestina.
Sejumlah aktivis dari Indonesia juga ikut ambil bagian, termasuk Zaskia Adya Mecca, Ratna Galih, Indadari, Wanda Hamidah, dan enam WNI lainnya yang tergabung dalam kontingen Malaysia.
Menurut Zaskia Adya Mecca dan Al Jazeera, kendala besar masih ada karena Mesir belum mengeluarkan izin resmi bagi para aktivis untuk memasuki zona militer antara El Arish dan perbatasan Rafah. Peserta long march bahkan dianggap ilegal dan polisi berhak menangkap mereka.
Para pengamat menilai bahwa konvoi kemungkinan besar tidak akan bisa mencapai Gaza, apalagi memasuki wilayah yang dijaga ketat oleh militer Israel. Namun, bagi para peserta, tujuan mereka bukan hanya masuk ke Gaza, melainkan membangkitkan tekanan publik global agar perang segera dihentikan.
Para pendukung Palestina telah melakukan berbagai upaya untuk menarik perhatian dunia terhadap penderitaan warga Gaza selama bertahun-tahun. Sejak dimulainya serangan besar-besaran Israel 20 bulan lalu, aksi protes terus digelar di berbagai ibu kota dunia. Warga sipil juga menempuh jalur hukum terhadap para pejabat yang dianggap mendukung agresi Israel di Gaza.
Selain di darat, aksi solidaritas juga dilakukan lewat laut. Para aktivis pernah berlayar membawa bantuan kemanusiaan menuju Gaza, berusaha menembus blokade ketat yang diberlakukan Israel sejak 2007. Namun, seluruh kapal itu dicegat, bahkan diserang. Salah satu insiden paling mencolok terjadi pada 2010, ketika pasukan Israel menyerbu kapal Mavi Marmara di perairan internasional, menewaskan sembilan aktivis di tempat dan satu lainnya meninggal kemudian akibat luka.
Sejak serangan Israel dimulai pada 7 Oktober 2023, lebih dari 54.000 warga Palestina tewas dan lebih dari 126.000 lainnya terluka. Pengepungan Israel telah menyebabkan suplai makanan dan bantuan nyaris terputus total, mengakibatkan kelaparan massal. Kondisi ini disebut oleh pakar hukum sebagai bentuk genosida, yakni upaya sistematis untuk menghancurkan sebuah kelompok secara keseluruhan atau sebagian. Sementara dunia menyaksikan, para aktivis kini bergerak.