Jumat ke-13: Sejarah, Mitos, dan Asal Usul Kesialan

keepgray.com – Friday the 13th, atau Jumat tanggal 13, sering dianggap sebagai hari sial, terutama di kalangan masyarakat Barat, keyakinan ini memengaruhi kebiasaan sehari-hari sebagian orang. Sekitar 10 persen penduduk Amerika Serikat (AS) mengalami ketakutan terhadap angka 13, yang meningkat ketika tanggal 13 jatuh pada hari Jumat.

Salah satu teori awal tentang mitos Friday the 13th berkaitan dengan Kode Hammurabi, salah satu dokumen hukum tertua di dunia, yang menyebutkan bahwa hukum ke-13 dihapus dari daftar. Namun, penghilangan ini sebenarnya hanyalah kesalahan administratif dari penerjemah awal, karena Kode Hammurabi tidak menomori pasalnya secara berurutan.

Mitos seputar angka 13 kemudian berkembang dan dikaitkan dengan hal-hal negatif. Dalam budaya Barat, angka ini dianggap membawa sial, terutama jika jatuh pada hari Jumat.

Pandangan bahwa angka 13 adalah angka sial ternyata tidak berlaku di semua budaya. Beberapa peradaban, seperti Mesir Kuno, justru menganggap angka 13 sebagai angka keberuntungan. Sementara itu, di beberapa negara Asia, angka yang dihindari justru angka 4 karena pengucapannya menyerupai kata “kematian”.

Menurut Stress Management Center and Phobia Institute di Asheville, North Carolina, lebih dari 80 persen gedung bertingkat di AS tidak memiliki lantai 13. Hal serupa juga terjadi di hotel, rumah sakit, hingga bandara yang menghindari penggunaan angka 13 pada kamar atau gerbang.

Ketakutan terhadap Friday the 13th bahkan memiliki istilah khusus, yakni paraskevidekatriaphobia dan friggatriskaidekaphobia. Kedua istilah ini mencerminkan bagaimana kepercayaan budaya dapat berdampak pada kondisi psikologis seseorang.

Paraskevidekatriaphobia berasal dari bahasa Yunani: paraskevi berarti Jumat, dekatreis berarti tiga belas, dan phobos berarti ketakutan. Sementara itu, friggatriskaidekaphobia merujuk pada nama Dewi Norse, Frigg, yang berkaitan dengan hari Jumat dalam mitologi Nordik.

Friday the 13th memang lekat dengan citra hari sial dalam budaya populer, terutama di dunia Barat. Meski begitu, tidak semua budaya memandangnya demikian. Mitos dan phobia yang muncul menunjukkan bagaimana kepercayaan turun-temurun bisa memengaruhi perilaku manusia, meskipun tak selalu berdasar pada fakta ilmiah.